10 | Kisah lama

13K 2K 110
                                    

[ Buat kalian yang mempunyai Anxiety atau apapun itu. Pastikan kalian baca chapter ini dalam kondisi terbaik kalian yah. Dulu ada reader yang curhat kalau Anxiety-nya kambuh selepas baca chapter ini. Dan yah, ini adalah pesan peringatan! Dimohon kebijaksanaannya. ]

°

°

°

°

°

Hawa dingin terasa sangat jelas menyentuh kulit-kulit ku, hingga ku pikir, aku akan segera terkena hipotermia jika tinggal disini lebih lama.

Saljunya terus turun, ini adalah hari ke-2 turunannya salju. Menghadapi hawa sedingin ini, sosok pria di hadapanku justru terasa sangat panas.

Aku menggadah untuk menatapnya. Usianya sekitar 38 tahun, dia menatapku dengan penuh amarah.

Menggertakkan gigiku, dalam hati aku bertanya apa yang salah?

Entah karena udara yang dingin atau karena dia terlampau marah. Nafasnya memburu tak karuhan. Apa sebegitu marahnya dia padaku?

Aku menatapnya tajam. Tak sedikitpun rasa takut ada dalam diriku. Entah aku harus marah terhadap diriku sendiri atau justru senang karena aku tak merasa ketakutan. Sejak awal aku memang terlahir dengan kecacatan.

Mata kami berdua bertumbuk, seolah saling mencoba untuk mendominasi. Tak ada seorang pun yang ingin mengalah.

Aku tidak salah. Aku tidak salah. Aku tidak salah. Mantra itu terus ku rafalkan dalam hati.

Pikiranku berkecamuk. Walaupun hatiku terasa beku, tapi pikiranku mengatakan ini adalah saat yang tepat untuk meledak. Ini saat yang tepat untuk terbawa emosi.

Tapi ...

Bahkan dalam kondisi seperti inipun aku tidak bisa merasakannya. Tidak sedikitpun,

"HANYA ITU SATU-SATUNYA CARA AGAR AKU BISA BAHAGIA--!!!"

PLAAKKKKKKK

Sesaat setelah aku meluapkannya, tangan besar itu menampar pipi ku dengan keras.

Tubuh ku yang saat itu masih berusia 14 tahun terjatuh ke tanah, sekeras itulah tamparannya.

Aku menggadah, pipi kiriku terasa peras dan panas. Tapi itu tidak penting, benar-benar tidak penting sekarang.

Tanganku menyentuh salju, pemikiran bahwa aku tidak bersalah terus mendorongku untuk menatap benci kepadanya.

Hey, apa dia pikir aku ingin melakukannya? Jika saja aku normal, seperti manusia lainnnya. Aku juga tidak akan berusaha sekeras ini hanya untuk memahami hal tersebut.

Aku tidak akan berusaha sekeras ini untuk mengisi kekosongan di hatiku.

Dan aku ... tidak perlu berbuat jahat.

Ku lihat orang yang telah melakukannya tampak menatap tajam ke arahku. Ekspresinya sulit untuk digambarkan, bahkan untukku yang sudah sering mengidentifikasi wajah seseorang.

Kenapa?

Sebenarnya apa yang dia pikirkan?

Setelah memaksaku untuk bersujud di hadapan banyak orang. Setelah memaksaku untuk meminta maaf pada mereka, kenapa baginya itu masih belum cukup?

FIGURANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang