[ B-SIDE ] Shīna Yasha Pratama ; Dia yang telah redup

8.7K 1.4K 52
                                    

.

.

[ B-SIDE ]
Shīna Yasha Pratama ; Dia yang telah redup

.

.

Harum roti yang baru saja dipanggang merebak, aroma menyengatnya tercium enak di hidung siapapun yang menciumnya.

"Kamu udah putusin mau lanjut ke universitas mana?" Pertanyaan itu datang dari Ishizaki yang sedang membaca koran. Ia kemudian melepaskan kacamatanya, dan menyimpannya di atas meja.

"Yang deket aja sih kayaknya Pah. Universitas di sekitar sini juga bagus-bagus." Yasha tersenyum, kemudian ia kembali memakan kue yang telah ibunya siapkan.

"Yah kalau itu mau kamu, gapapa."

Seperti biasa, Ishizaki juga tidak banyak bicara. Jika putranya sudah memutuskan, maka dia tidak mau ikut campur lebih dalam. Dia meyakini bahwa setiap orang berhak memilih jalannya masing-masing.

"Ngomong-ngomong Adek kamu mana-,"

Brakkkk ...!

Semua orang langsung mengalihkan atensinya ke arah langit-langit. Jelas sekali bahwa suaranya berasal dari lantai dua.

Ishizaki yang sedang meminum kopi langsung mengerutkan keningnya waspada. Ia segera bangkit dari kursi dan berjalan menuju tangga.

"Biar Yasha aja Pah!"

Yasha menginterupsi, ia bangkit dari duduknya dan segera menyusul sebelum pria paruh baya itu menaiki tangga. Yasha tahu, Ishizaki sudah tidak terlalu kuat untuk naik tangga. Belakangan ini ia juga sering mengeluh karena pinggangnya sakit.

"Coba kamu liat Gayatri lagi apa, gak biasanya dia berisik kaya gitu." Dia menunjuk tangga menggunakan dagunya, kemudian kembali duduk di kursi.

"Belum tentu itu gara-gara Gayatri juga Pah," seru Yasha.

Walaupun ada rasa khawatir, tapi Yasha sebisa mungkin berfikir positif. Ia kemudian mulai menaiki tangga dengan cepat. Lalu sesampainya di lantai dua, tanpa basa-basi, dia membuka kamar Shīna bahkan tanpa permisi.

"Dek! Tadi Kakak denger suara-"

Dilihatnya Shīna sedang berbaring dengan posisi lengan yang menutupi mata. Sementara tepat di hadapannya, sebuah jam waker sudah hancur dengan bagian dalam dan luar yang berceceran. Dengan melihatnya saja, Yasha sudah tahu asal dari suara tadi.

Melihat Kakaknya yang datang, Shīna terduduk. Sedikit menggadah, ia kemudian mengatakan apa yang ingin Yasha dengar. "Kakak tau? Kadang ada hari dimana kita gak suka saat harus bangun pagi. Dan bagi aku, ini adalah harinya .."

"Tapi ini?"

"Yah ... kayaknya aku emang udah sedikit berlebihan." Ia kemudian tersenyum lesu. "Bisa rahasiain dari Ayah dan Ibu gak?"

Hanya karena Shīna kesal harus bangun pagi? Yasha tidak dapat percaya pada apa yang Adiknya katakan.

Adiknya yang sempurna itu? Dia malas bangun pagi? Tidak-tidak. Itu tidak seperti Shīna yang ada di ingatan Yasha.

"Tapi suara kamu tuh kedengaran sama semua orang ..."

Hal itu sudah tidak dapat lagi dirahasiakan. Begitu dia turun ke lantai satu. Ayah dan Ibunya pasti akan langsung bertanya mengenai apa yang terjadi.

"Bilang aja aku lagi main video game, dan tanpa sadar jatuhin barang."

"Kamu pengen Kakak bohong?"

"Apa susah?"

Untuk sesaat Yasha tertegun, namun langsung menyetujuinya dengan mudah. "Kalau emang itu yang kamu mau," tukasnya. "Cepet bangun! Nanti kita terlambat ke sekolah," tambahnya lagi.

Setelah Shīna membalasnya dengan senyuman, Yasha langsung menutup kembali pintu kamarnya.

Rasanya ... ada yang aneh.

Rasanya ... ada jarak.

Rasanya ... ada dinding.

Yasha tidak bisa menyangkal bahwa terpisahnya ia dengan Shīna selama 5 tahun dapat menyebabkan kecanggungan yang parah.

Tapi dia tidak pernah menyangka akan sebesar ini perbedaannya.

Shīna yang dia kenal dulu adalah anak yang ekspresif, ceria, dan selalu dikelilingi banyak orang.

Shīna yang sangat cerdas, yang dapat melakukan segalanya dengan sempurna. Sampai dulu ... Yasha selalu merasa insecure jika harus berada di dekat Shīna. Ia tertinggal jauh dari Adiknya. Rasa inferioritas itu jugalah yang membuatnya tidak bisa beradaptasi selama 2 tahun.

Tapi sekarang ... ketika dia sudah menjadi suatu hal yang bersinar dan tumbuh menjadi lebih dewasa. Adiknya yang ia anggap sempurna itu justru malah redup. Saat Shīna tersenyum, hanya kehampaan yang ia perlihatkan. Sebuah senyuman Formalitas.

Apa yang harus Yasha katakan? Shīna yang sekarang itu ... ia seperti anak nolep (no life). Rasanya hidupnya hanya mengalir mengikuti arus kehidupan. Tentu itu tidak berarti sifat Shīna berubah menjadi suatu hal yang buruk. Hanya saja, Yasha tidak dapat menyangkal rasa kekecewaan yang ia punya atas redupnya Shīna.

Ia yang dulu melihat secara langsung bersinarnya Shīna, dan ia yang sekarang melihat Shīna menjadi redup. Rasanya selalu saja ada hal yang kurang.

Yasha pernah bertanya pada orang tuanya, apakah ada hal yang membuat Shīna berubah atau tidak?

Tapi jawaban orang tuanya selalu sama. -Tidak ada-

Dengan itu Yasha hanya bisa menyimpulkan bahwa seseorang memang berubah seiring berjalannya waktu. Ada yang mempunyai perubahan yang bagus. Ada juga yang mengalami penurunan.

Dan untuk Shīna ... Yasha pikir itu perubahan yang cukup drastis.

FIGURANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang