Bab 1

10.8K 597 21
                                    


Poso,  Juni 2000

        Angin berhembus kencang. Puluhan pepohonan bergerak meliuk bersiap tumbang. Suara bising manusia yang panik dan ketakutan memenuhi telinga. Sebentar lagi tempat persembunyian kami akan diketahui oleh para pelaku kerusuhan. Ayah diam, ibu gemetar, aku panik dan juga ketakutan. Kugendong si bungsu yang baru berumur tujuh tahun dengan erat. Baik ayah maupun ibu hanya membawa barang kami yang tersisa dan dirasa berharga. Kerusuhan yang sudah berlangsung selama dua tahun telah membuat aku, kami, dan semua ketakutan. Hari masih siang, tapi perasaaan puluhan kami yang tengah bersembunyi dibalik pepohonan di hutan serasa lebih mencekam.

         Aku melewati banyak gelimpangan mayat dan darah yang berceceran. Pembunuhan tak lagi mengenal belas kasihan, seolah harga sebuah nyawa setara dengan semua amarah angkara murka. Dalam tas gendonganku, aku hanya bisa menyelamatkan semua ijazah yang kumiliki. Dan beberapa potong ubi untuk persiapan malam malam hasil mencabut batang ubi di perjalanan menuju tempat persembunyian. Haikal menangis, ibu menenangkan dan memintanya bersabar. Jika hari sudah terang, esok kami akan bermigrasi ke kota dan meninggalkan tempat yang mengerikan ini.

        Tak ada yang tersisa, semua habis dilahap api dan kebrutalan perusuh. Anak-anak tak berdosa mati menggenaskan, dibuang dari jembatan. Aku hanya berharap mereka yang tangannya sedikit saja sempat menyeret para anak-anak menuju pintu kematian semoga Tuhan menghukummu dengan kejam. Pembalasan selalu datang lebih dari yang kita kira. Bukankah semua kitab suci menyerukan perdamaian? 

        Ayah memaksa kami berjalan memasuki hutan. Ada puluhan kepala keluarga yang juga ikut bersama kami. Beberapa dari mereka sudah kehabisan napas, ada juga yang memilih menyerah karena kelelahan, menunggu bala bantuan dari pemerintah datang. Aku bergidik, keadaan kota ini tidak baik-baik saja sejak dua tahun yang lalu. Telah ribuan korban merenggang nyawa mati sia-sia karena posisi keamanan Negara yang lagi tidak stabil pasca reformasi. Tak ada investigasi mendalam, tak ada keadilan, semua berakhir sia-sia. Hingga

Hingga puncak kerusuhan hari ini mengemuka, tak ada jalan lain kami harus meninggalkan Poso segera.


         Saat malam datang, salah seorang dari kami menyalakan api. Ayah menegur, puluhan pria juga ikut keberatan, tapi beberapa anak kedinginan, tak ada selimut, tak ada pakaian yang cukup. Akhirnya mereka diam, semua diam mungkin saja sedang menikmati api kecil itu sambil mengingat rumah mereka yang terbakar bersama kenangan. Tak ada yang tersisa kecuali baju di badan dan beberapa barang berharga. Aku meluruskan kaki dan memberikan adikku pada Ayah, karena ingin pamit buang air kecil. Lalu ayah memintaku tetap mengenakan tas yang berisi barang berhargaku. Kukenakan dan Ibu ikut menemani.


               Di semak belukar kukosongkan kantung kemih. Kami berjalan sekitar seratus meter jauhnya. Lalu saat di perjalanan kembali, Kudengar keributan, tangisan, dan juga teriakan. Ibu tersentak dan menggenggam tanganku kuat-kuat. Kami berjalan makin mendekati titik tempat kami berada dengan penanda api unggun kecil yang masih menyala. Aku tak begitu sadar, ibu seketika memintaku merunduk, kami merunduk. Aku lalu melihat beberapa pria di hajar dan ditebas dalam satu sayatan. Anak-anak menangis mengiba, para wanita histeris dengan puluhan gelegar. Aku diam tanpa suara. Kehilangan tenaga untuk bergerak. Lalu ibu mengatakan sesuatu padaku:


               “Lari dan pergi tanpa suara saat pagi. Tetaplah sembunyi disini apapun yang terjadi. Jangan sia-siakan pengorbanan kami. Ingat itu Guan. Ingat!”

Bara di mata BaryWhere stories live. Discover now