Bab 15

2.7K 453 1
                                    

Bara di mata Bary 15

Aku memilih berjalan cepat dan tidak mengindahkan perkataan bocah itu. 

“Ingat ya, kamu cukup diem aja dan tidak perlu berkata yang tidak kuminta.”

“Baik Om, eh Papa.”

“Jaga sikapmu, dan berlagak biasa saja.”

“Baik Papa, eh Om.”

“Yang harus kamu lakukan adalah hanya diam dan mengangguk. Jawab yang benar.”

“Siap Om. Eh Om..habis dari sini bisa nggak Om anter ke kostan pacarku?,” sahutnya tanpa merasa berdosa, luar biasa pergaulan remaja jaman sekarang

Sialan nih bocah.  Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. 

“Terserah kamu, toh kamu udah besar. Bisa menentukan mana yang baik, nurutmu baik ya ke kost pacar?”

“Ih…Om kayak gak tahu aja deh anak muda,” cerocosnya sambil menaikkan alis seolah ingin membuatku jengkel.

“Pokoknya selepas dari sini, aku antar ke rumah pacarmu,” jawabku setengah kesal. “jangan lupa yang kukatakan tadi, kalau tidak Fee tambahan batal, deal?”

“Deal Om.”

Aku membuka pintu rumah dan menemukan tukang kebun kakekku baru saja keluar dari ruangan yang tersambung dengan ruang makan. Mungkin saja kakekku di sana sedang mengecek tanaman. Dan tanamannya tersebar di sekeliling rumah. Sebagian adalah peninggalan nenekku, dan sebagian lagi adalah hasil berburu yang dilakukannya di berbagai daerah. 

Sekedar informasi meski serumah aku dan kakek punya wilayah terori sendiri. Ada batas-batas yang aku dan kakekku keberatan jika itu sering di lalui orang lain. Bedanya aku hanya punya kamar dan ruang kerja, sedangkan kakekku? Selain dapur, ruang tamu, dan tengah, semuanya adalah milikinya. Dasar orang tua aneh. Usia delapan puluh tahun memang akan membuatmu kembali ke tabiat layaknya anak kecil.

“Kek,” panggilku saat melihatnya tengah duduk dengan semprotan di tangan di hadapan sang penguasa mood kakekku, Aglaonema lima warna. Dan sungguh ia tak berbalik sedikitpun

“Kek..” 

Aku berpaling kaget pada bocah minim akhlak yang mengikuti panggilanku. Apakah dia sulit mengerti dengan instruksiku jika aku tidak ingin dia bersuara? Arrggghhh! Ya Tuhanku

Tapi ajaibnya, orangtua itu berbalik dan mengenakan menaikkan kacamatanya. Kulihat ia berdiri dan segera mendekati kami.

“Siapa kamu?,” hardik kakekku tegas. Aku memberi kode pada anak itu agar tak perlu menjawab apapun. 

“Aku Dinar, cucumu.”

Bah!

“Cucuku hanya dia, “ kata kakek sembari menunjukku tanpa berpaling padaku. Matanya tetap menantang mata bocah sempril yang kuminta diam di tempat.  Tapi tidak mengindahkan, malah dengan santai membalas tatapan mata kakekku.

“Ssstt..sudahlah kek, tidak udah membuat masalah lagi. Intinya aku ingin kakek berjanji akan segera mengakhiri semua janji janji yang kakek bicarakan dengan keluarga Audi.

“Oh….jadi, kamu menantangku dengan menghadirkan anak ini?’

“Kenapa memangnya kek? Dia anakku, dan aku tidak mungkin membiarkannya.”

“Buktikan padaku, dia anakmu, dan siapa ibunya?”

Kata Kakek cukup memancing emosiku. Dia harusnya sadar kalau urusan penting seperti ini tidak bisa jadi teritorinya. 

“Kamu sudah berjanji padaku, Bary. Dan janji adalah utang. Kamu harus menunaikan itu.”

“Tapi, aku punya anak Kek, bagaimana dengan anak ini?’

“Kasih aku bukti kuat bahwa anak ini memang anakmu, jika benar aku bisa mengatur pembatalan, tapi sebelumnya kamu harus datangnya ibunya, aku perlu bertemu Ibunya. Setelah aku bertemu ibunya, mari kita tes DNA.”

Sialan nih orang tua jelmaan dedemit. Sial benar. Kurasa aku harus segera pergi dan menghindar secepatnya. Sekilas aku menyaksikan senyuman meremehkan dari bocah itu. 

“Aku tidak akan membuang waktu untuk hal yang sudah pasti, Kek.”

“Siapa nama Ibunya, kalau begitu?”

Ya Tuhan, biarlah kali ini aku yang menang. Tolong buat orang tua ini berhenti membuat masalah untukku! Aku tak lagi mendengar cekikan anak tanpa akhlah itu, yang seolah gembira menyaksikan perdebatan kami.

“Namanya Raguan, Kek. Dia wanita yang kutinggalkan dulu dan telah kunikahi. Aku tidak tahu jika dia mengandung sewaktu kutinggalkan dia di selayar,” kataku tenang tanpa emosi. Hah, biarlah sekalian aku tercebur. Toh Guan juga memiliki seorang anak. Aku tidak masalah jika harus mengakui anak Guan sebagai anakku. 

Namun ada sesuatu yang menggangguku saat wajah anak tanpa akhlak itu berubah penuh amarah. Ada apa ini? Apakah mungkin dia marah karena aku tidak akan menggunakan jasanya lagi? Ah semua hal ini membuatku pusing.

=====

.

Bara di mata BaryWhere stories live. Discover now