Bab 2

4.4K 490 23
                                    

Desember 2000

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

Baryndra Ahmad Maliki

Aku selalu bilang pada teman-teman dan para juniorku di kampus. Kalau jodoh itu dicari dan diusahakan. Kalau perlu pasang umpan yang benar-benar sesuai kebutuhan kondisi dia, agar apa yang kita inginkan terwujud. Contoh kecil, kalau lihat wanita yang kamu suka sedang sedih, maka hibur dia. Atau lihat wanita yang kamu suka lagi menginginkan sesuatu, usahakan untuk dia. Nah, wanita mana yang tidak terpesona atau terharu kalau dikasih perhatian? Wanita mana yang tidak berdebar saat kita nyapa atau tersenyum sama dia?

Pada dasarnya wanita itu sama saja. Paling cepat trenyuh dan tergoda kalau pria dikit aja menunjukkan rasa tertariknya. Dan inilah yang sedang ku lakukan sekarang. Awal-awal kulihat anak itu biasa aja. Sama kayak wanita kebanyakan. Tapi, saat lihat bagaimana dia bekerja dari pagi hingga malam, bantuin Pak Ady jemur binatang laut, gila. Saat itu aku yakin, Tuhan sedang bermain. Dulu, aku pernah meneriakkan sebuah janji lantang pada langit tentang jodohku yang isinya : Dear Jodoh yang masih di Tangan Tuhan, kali ini kamu mau turun sendiri atau tunggu aku yang nyungkil?

Saat lihat wanita hitam manis ini, hatiku berdebar tak karuan. Urusan di kantor Desa, ketikan pak Marmot selesai sekejab mata. Cucian numpuk di sumur ku cuci sampai tak bersisa. Bahkan setrikaan si Kery kutu, juga selesai ku setrika. Luar biasa kekuatan cinta. Mulai lah aku cari perhatian dan menyelidiki dia diam-diam. Usut punya usut dia adik angkat ponakan pak Ady. Keluarganya udah meninggal, jadi dia sebatang kara. Wah, pucuk di cinta ulam pun tiba. Masa penantianku tiba. Beginilah rasanya nasib pria kebelet kawin. Usaha apapun bakal dilakuin.

Mula-mula aku sengaja selalu muncul di tempat yang sama tiap hari biar dia terbiasa. Hingga aku sengaja duduk di pos ronda nyanyi gak jelas sambil denger radio kalau malam biar dia dengar suaraku. Ahh.. Umurku setua ini, tapi, seperti baru kasmaran saja rasanya. Andai di rumah Pak Ady ada telpon rumah pasti udah sejak tadi aku ke wartel nelpon kenalan sama dia.

Dan ternyaya usahaku beberapa bulan ini tidak sia-sia. Aku sering membuat dia tersenyum saat datang di pos ronda ngumpul sama anak-anak muda. Kali ini tatapannya tidak lagi kosong atau sedih seperti biasanya. Kali ini dia lebih natural dan ceria. Hanya saja, ada beberapa aksen daerahnya yang membuat kami tertawa jika dia secara tidak sengaja mengungkapkan ketidaktahuannya akan guyonan kami.

Saking seringnya aku menampakkan diri di hadapannya aku jadi tahu kalau setiap saat dia pasti memperhatikanku. Jadilah siang itu secara sengaja aku berlama-laman di pinggir pantai sekedar mencoba peruntunganku. Sekalian nyari kepiting, lumayan kan kalau ditimbang? Sekedar info gaji pegawai kantor desa honorer macam aku paling seringnya di gaji terimakasih. Tapi, tidak masalah. Kata pak Desa pas pengangkatan PNS nanti namaku pasti masuk soalnya udah masuk daftar tunggu. Semoga saja bukan omong kosong.

Kami melakukan percakapan sempurna. Aku hampir sampai pada tujuanku saat merasakan dia mengikutiku dari belakang.

"Jadi, kalau aku mengajakmu menikah, apakah kamu mau?"

Wajah bulatnya, Rambut sebahu yang tertiup angin. Bodynya yang aduhai udah sejak lama masuk mengacau tidur malamku. Bahkan saat sedang terkejut seperti ini menurutku dia tampak menarik. Sangat menarik. Matanya seolah memintaku memeluknya. Tatapannya seolah berteriak memintaku datang mendekap dan memeluknya. Mata Guan, bagiku sangat istimewa.

"Aku mau. Siapa takut?,"ucapnya seolah menantangku. Dadaku bergemuruh. Tapi ekspresiku datar biasa saja.

"Aku mau secepatnya, biar kita bisa tinggal sama-sama," kataku masih dengan suara datar. Padahal sejak tadi udah pengen loncat saking girangnya.

Bara di mata BaryWhere stories live. Discover now