Bab 5

3.1K 439 7
                                    

Baryndra ahmad maliki
------------------------------------
Sungguh kebetulan yang mencengangkan. Apa pemuda tanggung ini berniat mengerjaiku?

“Oh ya? Kok bisa nama kita hampir sama ya?,” kataku pura-pura tertarik.

“Makanya Om. Eh tunggu aku di panggil sepertinya. Nomor om ku simpan ya. Kalau jam itu di buang sama Dinar, Om kukabari.”

“Hah? Buang? Dia suka buang barang?”

“Ya kalau bosan, terus gak bisa dijual, di buang Om. Tenang aja Om, di buangnya di loakan dekat rumah kok. Aku kenal tukang loaknya.”

Astaga dasar anak yang aneh. Lebih aneh lagi adalah aku. Sudah tahu ini pembicaraan yang tidak penting, masih juga menjadi pendengar yang baik. Alangkah kagetnya jika mereka tahu harga jam karet hitam itu. Kalau tida salah ingat, dulu di hadiahkan putri salah seorang pejabat lengkap dengan nota beserta harga. Hahahaha. Makanya aku tidak begitu murka jam itu di minta.

“Ok.”

“Makasih Om.”

Aku melanjutkan perjalanan di sepanjang pantai. Menikmati butiran pasir yang mengenai kakiku. Entah berapa menit waktu yang kupakai mengunjungi kenanganku bersama Guan melalui debur ombak dan pemandangan sepasang muda-mudi yang berpegangan tangan. Kenangan yang berasal dari belasan tahun yang lalu. Tahun-tahun indahku bersama wanita sederhana dan tak pernah meminta apapun dariku semenjak kami menikah. Wanita yang bahkan tak pernah mengeluh tentang apapun. Wanita itu datang padaku saat aku belum mampu menguasai ego dan menahan segala macam penderitaan. Saat dimana dengan diriku saja, aku merasa mampu mengalahkan kejamnya dunia.

Perasaan ketakutan tidak bisa menafkahi keluarga, tak bisa menjadi tulang punggung sementara dulu aku mati-matian menolak tidak membutuhkan bantuan kakekku bagai buah simalakama bagiku. Aku yakin bisa hidup sendiri tanpa bantuan siapapun. Aku terlalu congkak dulu. Jika saja aku bisa menahan amarah dan emosi , sewaktu anak kami Toleran hilang di amuk ombak, mungkin saja aku masih bersama Guan hingga hari ini. Bisa saja kami sudah memiliki anak yang lucu. Mungkin saja.

Atau aku mengikuti kerabat kakek melahirkan anak kembar, siapa yang tahu? 

Aku pernah datang di tempat ini sebulan setelah aku meninggalkan Guan. Aku berharap ia masih di rumah kami yang lama. Entah menungguku atau masih mengharapkan aku datang padanya. Aku menyimpan harapan jauh di dasar hatiku hingga beberapa bulan kemudian setelahnya. Pak Adi mengatakan Guan sudah lama tidak datang. Ia sekarang memilih meninggalkan tempat ini dan tidak ingin berhubungan denganku lagi. Katanya, ia akan mengabulkan keinginanku untuk pergi dan menghilang selamanya. 

Seketika hatiku kacau. Harapanku hilang. Ah… semua salahku.

Hasil penyelidikan Ralik mengatakan kalau Guan sekarang telah menikah dan memiliki dua anak. Katanya, dia mendapatkan info itu langsung dari sumber terpercaya. Aku tersenyum saat mendengarnya. Aku senang ia akhirnya cepat move on dan menemukan kebahagiannya sendiri. Pasti sekarang dia hidup bahagia dan melupakan tentangku.

 Hahaha. Apa sih yang kuharapkan sebenarnya? Guan tidak bisa melupakanku? Dan berusaha mencariku?

“Om melamun ya?”

Aku menoleh dan mendapati gadis tukang pajak itu datang lagi. What?? Masih dengan pakaian seksi yang merusak mataku. Entah kenapa melihat ini bukannya aku senang. Sesuatu di dadaku berniat memarahinya dan menyuruhnya membungkus badannya yang sejak tadi di perhatikan orang yang lalu lalang.

Bara di mata BaryWhere stories live. Discover now