Bab 3

3.3K 501 12
                                    

Baryndra Ahmad Maliki.

      Seluruh tubuhku sakit. Pukulan demi pukulan ku terima tanpa henti. Entah apa yang dipikirkan para pria berparas layaknya preman ini. Kedua kakiku di ikat layaknya tahanan yang akan kabur. Otakku bekerja keras, istriku sedang menunggu di rumah. Aku harus pulang hari ini, setidaknya memberi Guan uang agar dapat menebus cincin Ibunya. Aku pasti masih bisa bertahan. Pasti. Lalu dua pria di sebelahku memelintir kedua tanganku dan menjepit semua kuku yang kupunya menggunakan kayu. Aku menjerit kesakitan. Seluruh tubuhku sudah mati rasa saat pukulan terakhir kuterima. Ah aku yakin. Aku hanya perlu bertahan melewati hari ini. Aku yakin bisa melewatinya.

“Jawab cepat!”

“Kenapa berani mengirim berita itu?”

    Mereka menanyaiku tapi tidak memberiku kesempatan menjawab. Aku tertawa di tengah pukulan. Aku merasa mereka tidak lebih dari kerbau yang hidungnya dicucuk agar mengikuti perintah tuannya. Tidak peduli mana benar dan salah.

      Entah sudah berapa hari lewat, pria-pria di hadapanku ini masih juga menggunakan bahasa kasar memaki dan mencemoohku. Mereka mempertanyakan keberanianku mengirim tulisan di media cetak tentang nepotisme di pulau ini. Beberapa di antaranya tertawa. Aku bermohon pada mereka dengan segenap kekuatanku agar dilepaskan. Apapun akan ku berikan asal mereka melepasku. Satu diantaranya tertawa dan meragukan kemampuanku. Aku tersenyum sangsi. Kupikir sebentar lagi aku akan mati di tempat ini. Napasku putus-putus. Terbayang wajah Guan dan anakku yang menungguku dengan wajah kawatir dan menahan lapar. Sialan!

     Ternyata hari ketiga mereka melepasku dan mengancam masih akan mencari dan melancarkan serangan padaku. Aku berjalan tertatih dan berusaha mencari bantuan. Kali ini aku harus menggunakan etra tenaga menuju dermaga. Aku menumpang sebuah mobil open kap rongsok dan meminta air pada seorang  sopir dan berjanji mengembalikannya nanti. Kupikir inilah saatnya aku menggunakan kartu terakhirku. Dengan napas putus-putus aku meminjam uang pada sopir open kap dan memintanya menurunkanku di wartel terdekat. Aku menekan sebuah nomor telpon yang telah ku hapal selama bertahun-tahun hidupku.

Seorang wanita mengangkat telpon dan menanyakan keperluanku.

“Ada perlu apa dengan pak Maliki?”

“Katakan, cucunya menunggu. Penting.”

       Aku merasakan ada tikaman di dadaku. Sakit. Tidak sampai tiga puluh detik, suara itu menjawabku. Aku meredam semua egoku yang masih tersisa dan pada akhirnya berhasil mengatakan sesuatu yang sejak dulu tabu untuk kukatakan.

“Aku butuh bantuan. Kirim seseorang kesini, segera.”

“Apa yang bisa kamu tawarkan?”

“Hidupku semuanya. Dan juga anakku.”

“Apa yang terjadi jika aku tidak mendapatkan keduanya?”

“Kepatuhanku seumur hidup, apakah itu belum cukup?”

“Ini baru keturunanku. Tunggulah, Ralik akan datang secepatnya! Berikan alamat lengkap.”

       Aku menutup telpon dan bersandar pada tembok. Kulihat tagihan yang membengkak dan memohon maaf pada pemilik dan mohon kebesaran hati untuk bersabar hingga tiga jam kedepan. Tak kupedulikan pandangan meremehkan si  wanita penjaga. Aku lalu meminta ijin pada pemiliknya langsung, seorang wanita paruh baya untuk memakai kamar mandi dan memikirkan beberapa hal yang terjadi padaku. Guan yang kuminta tinggal di rumah dengan anakku. Ya Tuhan. Ini buruk. Dan beberapa orang suruhan dari anak pak desa yang membuatku babak belur berhari hari. Beruntung mereka tidak melukai wajahku cukup parah. Lebam lebih banyak di dada dan perut. Selain kondisi kedua kaki dan tanganku yang penuh luka, semuanya baik-baik saja. Aku harus menutupinya dari istriku. Harus. Aku tidak mungkin membiarkannya kawatir karena mengetahui kegagalanku.

Bara di mata BaryWhere stories live. Discover now