Bab 10

3.2K 476 9
                                    

Sejak tadi aku tahu jika ada sepasang mata yang mencuri pandang padaku. Mengawasi gerak gerikku.  Aku merasa seperti di intai. Aku tahu siapa itu, dan sadar jika pria itu sangat bagitu dekat denganku. Aku hanya pintar berpura-pura mengabaikan kelakuannya.

Gabungan rasa marah, sakit, dan benci seperti menyelubungiku. Rasa itu menyelubungiku bagaikan selimut baja. Aku teringat tahun-tahun perih kuhabiskan bekerja serabutan demi mencukupi biaya hidup kedua bayiku. Atau tangis pedihku saat ASi ku tak kunjung keluar sedang Dinar menangis kehausan. Atau ketakutan saat tak bias membeli makanan yang layak bagi dua anakku. Aku melakukan semua hal tanpa Lelah demi hidup kedua anakku. Dan bahkan jika pria itu datang merangkak atau bersujud di hadapanku, akan sulit bagi diriku ikhlas memberinya maaf.

“Gu, arah pukul delapan, Noh, Gu. Meleleh aku dibuatnya. Gak begitu terang sih, tapi jelas banget dia naksir kamu, Gu,” kata Kusya membentuk opininya sendiri. Aku memilih tidak menghiraukannya sama sekali.

“Pantes si Bapak ngotot kita kesini, ada buaya di balik batu rupanya,” timpal kadar berusaha melucu dengan mengganti ungkapan.

“Eh, Dar, nurutku ada untungnya sih, si Bapak brewok maco naksir sama Guan, jadi kita punya dukungan. Kalo lihat-lihat nih, yah, timnya banyak. Kalah sama kita,” terang Kusya berusaha mempengaruhiku. Aku hanya sibuk memasukkan beberapa buah ke dalam mulutku. Menurutku ini adalah makanan mewah di lokasi bencana. Tim seperti apa yang masih sempat membawa bahan pangan mewah seperti ini dengan melihat kondisi yang lampu saja belum nyala sama sekali.

“Emang bagus. Tapi kalau besok pak pilot TNI datang, nyari Guan, bakalan rame,Sya. Perang. Perang!,” ujar Kadar diplomatis. Memangnya kenapa harus perang?

Aku tak lagi berusaha mendengar celotehan mereka. Tentang Bondan, pacarku atau tentang Pria itu. Aku hanya sibuk menebak dan menerka dalam pikiranku, bagaimana jika mereka tahu pria itu adalah ayah dari si kembar? Atau bagaimana jika pria itu tahu, bahwa aku memiliki si kembar? Tidak!. Tidak! Itu tidak boleh. Tidak akan kubiarkan ia menikmati semua hal yang telah kulakukan.

Hanya beberapa menit setelah diskusi Kadar dan Kusya, dia, berjalan dengan langkahnya yang tegap ke arahku. Spontan Kusya dan Kadar menjauh dan menaruh sebuah kursi plastik di sebelahku. Tak perlu orang pintar untuk paham, karena sesuai perkiraan, dia duduk persis di sampingku tanpa malu.

Sekilas aku melihat wajah Kusya yang panik dan sikap Kadar yang salah tingkah. Padahal mereka juga kan yang memberi jalan?


“Bagaimana kabarmu?,” suaranya menjadi lebih berat dari terakhir kali. Aku memilih sibuk melempar beberapa kertas kecil pada api unggun mini yang dinyalakan Teon, tim kami. Meski rumah yang di jadikan basecamp ini terbilang terang, kurasa tidak akan adil bagiku menyalakan semua alat penerang sedangkan kami hanya numpang.

Aku menarik napas pelan setelah kesunyian yang lumayan Panjang. “Cukup baik. Lebih dari sekedar dari yang kamu harapkan dulu, agar aku ikut mati,”sungguh aku tidak merencanakan akan mengatakan itu. Entah dari mana datangnya. Aku bisa merasakan atmosfir aneh melingkupiku. Atmosfir yang membuat bulu kudukku merinding. Kulihat Kusya dan kadar seperti manusia yang kehilangan napas saat mendengarnya. Kepalang tanggung, toh mereka teman dekatku.

“Aku pria yang sangat payah dulu,” sahutnya setengah berbisik. Aku yakin matanya masih menatapku. Kembali ku tatap Kusya, yang reflex menutup mulutnya. Biarlah. Kusya mungkin sadar maksud pernyataanku. Beberapa tahun yang lalu, Kusya lah teman pertama yang pernah kuceritakan masa laluku. Jadi, setidaknya, dia paham benar makna perkataanku tadi. Entah apa yang akan dia katakan nanti.

Bara di mata BaryNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ