Bab 20

3.2K 454 10
                                    

Bagian 20

Jalanan masih sunyi saat aku bersama Ralik memutuskan berlari pagi menyusur jalanan protokol di Moh. Yamin hingga tembus jalan gelatik lalu kembali ke basecamp kami di jalan Garuda. Suasan benar sunyi. Begitu banyak rumah dan jalanan yang tak bisa di lewati akibat reruntuhan yang belum di bersihkan. Hampir di setiap kompleks ada beberapa tenda yang didirikan oleh pemilik rumah. Beruntung, meski tanpa pasokan listrik maupun signal, masih ada beberapa penduduk yang memilih bertahan oleh karena memikirkan keamana harta benda mereka yang masih tertinggal dalam rumah.

Bunyi helikopter tiap pagi masih terdengar bahkan hingga menjelang magrib. Belasan  mobil ambulance hilir mudik hampir tiap jam di sepanjang jalanan ini. Bencana ini meski tidak separah sewaktu kejadian di Aceh, tetap saja bukan masalah sepele karena melibatkan tiga bencana alam. Dan bencana alam Likuifaksi adalah salah satu bencana terbaru yang menyita perhatian publik.

Dulu saat mengerahkan tim di Meulaboh, dan membantu pasukan TNI dalam memobilisasi ribuan mayat agar dapat dikuburkan di tempat pekuburan massal, aku mengalami beberapa kejadian yang tidak mengenakkan. Semua itu bersumber saat melihat hysteria seorang Ibu yang mencari jenazah anaknya. Entah kenapa kejadian itu mengingatkanku akan Guan. Guan yang panik, Guan yang kehilangan gairah hidup. Guan yang tidak pernah berani kutemui secara langsung karena berbagai hal berperang dalam diriku. 

Aku ingat beberapa bulan setelah mengucap perpisahan pada Guan, aku datang mencarinya dan menanyakan pada Pak Adi keberadaanya, dan harus menerima kenyataan jika Guan memang telah pergi dan menerima kenyataan perpisahan kami. Sedang aku? harus berdamai dengan kenyataan dan diriku sendiri.

Bulan-bulan dimana informasi dari Ralik yang mengatakan jika Guan telah memiliki pasangan membuatku semakin semangat berlama-lama di Meulaboh, dan memilih mengobati kesakitanku sendiri. Memikirkan bagaimana wanita itu bisa secepatnya pulih justru menimbulkan luka di hatiku. Ada saat dimana aku benar-benar ingin semua kehilangan dan yang kualami adalah mimpi, dan anakku Toleran hidup kembali, lalu aku dan Guan masih seperti sedia kala, saling memeluk, memuja, bahkan tersipu malu. 

“Pak, alat berat kita sudah datang, koordinator lapangan memilih Balaroa sebegai tempat awal, ada beberapa alat berat juga segera diarahkan ke kabupaten Sigi, tadi, Ahmad  melapor padaku.”

“Terus?” kataku, lalu mengambil handuk dan mengelap seluruh tubuhku yang basah oleh keringat. Kadang kegesitan Ralik dalam memberi informasi patut kuacungi jempol. Padahal baru saja kami datang, dan dia hanya menghilang selama beberapa menit.

“Ada banyak mayat yang belum diangkut di tempat itu, dan..”

“Dan?,” sambungku 

“Katanya ada beberapa korban yang masih bertahan hidup.”

“K*prol, yang seperti itu, tidak perlu sampai padaku, cepat kerahkan semua tim fokus selamatin korban, yang masih idup, sial.”

“Udah bos, tadi kuminta Ahmad ke sana.”

“Bagus kalau gitu, tiga puluh menit lagi aku juga mau ke lokasi, sebelum itu, bantu timbain air di sumur,” sergahku lalu melemparinya handuk. 

“Eh anu Bos, ada telpon dari Tuan besar, kalau kita diminta pulang, hari ini.”

“Bales, kalau pekerjaan masih banyak. Kemungkinan aku bisa balik sekitar dua mingguan lagi.”

“Tapi bos?”

“Gak ada tapi. Bantu timba air cepet, Lik,” pintaku lalu bergegas ke kamar mandi. Tak lupa sesekali mengintip rumah sebelah yang hanya dibatasi kayu. Kemana kamu sayang?

Selepas pertikaian kemarin Guan pergi tanpa mengucap kata apapun lagi. Jujur saja aku masih menginginkan banyak interaksi terjadi diantara kami, setidaknya ada kebaikan yang bisa diambilnya meski kemarin aku sempat terpukul hebat karena ucapannya.

Bara di mata BaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang