Bab 14

2.7K 448 5
                                    


Baryndra Ahmad Maliki

Sejak aku bertemu langsung dengan si Audi itu, hatiku seolah berubah fungsi. Jadi mirip bengkel las. Panas dan sakit. Bunyinya hampir bikin semua badanku juga ikut sakit. Apa pula si Ralik jadi menghilang seperti ini? Apa maksudnya coba?

"Kakek kamu ngomong ke Ayahku, soalan kapan bisanya kita bicara serius."

Mati aku.

"Aku jujur gak muluk-muluk sih."

Sumpah mampus.

"Apalagi udah ketemu kamu langsung dan lihat orangnya sendiri."

Oh jelas. Aku memang menarik. Kamu belum tahu aja kalau....eh? Sumpah mampus. Aku...aku..Guan. hanya Guan. Ia hanya Guan 😫

"Lebih baik gak usah terlalu lama. Toh kita udah sama-sama dewasa, jadi, kau tidur di kamar yang mana nih hari ini?"

Sialan. Ralik pergi di saat yang tepat. Aku merasakan bulu kudukku meremang. Bukan karena terangsang. Tapi kok sepertinya aku merasa masuk ke lobang buaya lihat wajah Audi ini? Udah gak ada cantik-cantiknya kelihatan.

"Emmm jadi gini, siapa nama kamu?,' kataku berusaha mengulur waktu. Masalahnya badannya makin dekat. Apa maksud?

"Audikassmita Astarazahra binti Sulaeman Najasasmita, namaku agak panjang sih, tapi aku yakin pas ijab kabul nanti bakalan lancar."

Ya Tuhanku pemilik semesta alam. Aku melihat tatapan matanya.

"Jadi, gini ya Audi, ada baiknya selama di sini kita masing-masing jaga sikap. Soalnya..yah...akan sangat tidak nyaman jika orang-orang melihat ada yang tidak pantas sementara kondisi sedang dan sangat memprihatinkan, kamu paham kan maksudku?," kataku dengan ketegasan yang kubuat sejelas mungkin.

Untuk menjelaskan pada Audy aku butuh waktu..setidaknya hingga urusan di lokasi bencana ini selesai dulu. Dan akan kupikirkan langkah selanjutnya buat mengakali si tua bangka Maliki Ahmad dengan rencananya.

"Kamu gak perlu risau. Lihat, gak ada yang melihat kita. Makanya aku duduk sedekat ini. Lagipula, kita sebentar lagi nikah, bukan?"

"Gini, Audi, sebelum semuanya jelas aku mohon kita jaga jarak saja dulu. Agar aman. Yah... Kamu tahulah anggapan orang. Oh dan, kalau tempat tinggal, kamu bisa hubungin Ralik. Dia yang mengurusin semua. Aku.. Harus ke bandara dulu ya. Soalnya mau bagi makanan ke pengungsi yang tinggal di bandara. Aku bakal di sini lagi kok, agak sorean," kataku sembari mengambil tas tangan yang terletak dibawah meja dan berlalu dari sana.

Yah usia setua ini. Aku jadi paham dan tahu bagaimana seharusnya membuat diriku tidak mengeluarkan kata yang kurang pantas. Saat menemukan salah satu karyawan, kupinta dia mengantarku menuju bandara diikuti dengan mobil bak berisi makanan siap santap yang telah di siapkan koki yang kubawa dari kota.

Seharusnya ini semua tugas Ralik. Aku tahu dia dan matanya sedang memandangku dari kejauhan. Jadi, dari pada aku memuaskan matanya, lebih baik kubakar sekalian matanya dan menghadiahkannya kejutan besar nanti. Awas saja.

Tujuanku saat sampai di bandara mutiara lima menit lagi hanyalah ingin terbang bersama Pandu menuju Makassar. Lalu mengurusi beberapa stok bahan logistik hingga 14 hari kedepan lalu dilanjutkan dengan menemui anak gak ada akhlak itu.

Sejak pagi tadi aku berpikir, kira-kira alasan apa yang membuatku harus menemuinya? Dan apa alasannya ingin aku datang ke sekolahnya menyamar menjadi ayahnya? Jawaban dari pertanyaan kedua telah kutemukan jawabannya. Yang tidak kuketahui adalah jawaban dari pertanyaan pertama.

Kenapa alasan untuk menemui anak itu menjadi begitu besar? Lalu setelah bertemu langsung dengan Audy dan mengaitkannya dengan mimpiku. Ku pikir aku harus membuat semua menjadi jelas. Mimpi itu seolah memberiku ilham. Keberadaan anak itu, bahkan sejak awal sebenarnya untuk membantuku menyingkirkan Audy agar dapat mengulur waktu mendapatkan kembali cinta Guan. 

Ya kami bisa saling memanfaatkan. Siang nanti aku bisa meminta waktunya menemui kakekku dan berpura-pura menjadi anakku. Dan inilah aku. Sekarang aku telah tiba di sekolah anak itu. Dia memintaku datang agar bertindak sebagai Ayahnya, mewakili orang tuanya. Karena pertemuan orang tua Wali murid dan dia butuh bantuanku. Sekaligus beberapa pengumuman, katanya. 

"Om Cod-annya sekalian di sekolahku aja, Om. Sekalian Om mau kuminta tolong buat gantiin Mamaku, Om..tahu sendirikan Ayahku udah gak ada..anak Yatim loh ini, Om..doa anak yatim itu di ijabah."

Membaca pesannya sungguh membuatku terbahak. Luar biasa ide anak ini saat mengerjaiku. Kalau dia tahu harga jam yang di ambilnya setara dengan harga mobil, entah apa lagi idenya. 

Saat pintu mobil kubuka dan sosok gadis kecil itu langsung lari menyambutku.

"Papa...kok lama datangnya?"

Buset akting bocah ini. Casting sinetron bakalan lolos jalur pretasi. Gak perlu koneksi.

"Biasalah macet, jadi dimana tempatnya? Mana kakakkmu?," kataku sambil merangkul bahunya. Eh...tunggu aroma rambut anak ini kok familiar??

"Dia di kelas paling. Kalau lagi istirahat gini, biasanya dia tinggal ngerjain tugas."

"Lah kamu?? Gak bikin tugas??"

"keahlian anakmu bikin masalah aja, papa.. Masa gak tahu sih," sahutnya sambil mengedipkan mata. Hah? Kok aku merasa kedipan ini gak asing? Gila aku karena Guan. Sore ini setelah urusan dengan kakek beres, aku harus secepatnya balik dan menjelaskan pada Guan ku tersayang. Kalau perjodohan telah di batalkan.

Saat masuk ke Aula yang di tunjukkan bocah itu, aku lalu masuk dan langsung diminta menuliskan namaku di Di sebelah nama Anakku. Aku terdiam sejenak dan lupa menanyakan pada bocah itu.

Sial.

"Nama anak Bapak siapa?"

"Dinar Dan.."

"Oh si kembar, ya Pak. Tulis nama bapak Disini sama di sini, karena mereka dari dua kelas berbeda pak."

Aku lalu mengikuti petunjuk dan menandatangani di dua halaman berbeda. Nama mereka berdua cukup unik. Dan.. Yah..mari kita lihat kejutan apa yang akan ku temui di Aula sekolahan ini.

Sepuluh menit pertama aku risih. Jujur. Beberapa pandangn mata terus saja menatap ke arahku. Sedangkan aku? Fokus mendengarkan isi pertemuan ini. Ternyata ini adalah acara pertemuan yang meminta kesediaan para wali murid untuk bekerja sama dalam pemberian sumbangan para korban bencana. 

"Saya Bersedia menyumbang 100 dus susu dan mis instan Pak kepala sekolah," kata ibu berbaju kuning lengkap dengn kacamata hitam bertengger di sarangnya (baca: kepala bersanggul).

"Wah alhamdulillah yak Bu Indri. Kami catat ya, adalagi?"

"Saya air mineral pak. 200 dus cukup nggak ya? Soalnya saya baca di berita mereka kekurangn air minum loh, Pak."

"Oh iya bu Keenan. Kami tampung. Terima Kasih ya bapak Ibu, kalau ada yang lain boleh ikut menyumbang, dana juga gak masalah kami rencana jika memungkinkan akan membangun 500 hunian sementara berbahan dasar triplex buat 500 kepala keluarga di satu kelurahan, jika ada dari bapak ibu yang mau menyumbang disilahkan."

Kalau aku ngomong bisa mengakomodir pasti terkesan sombong. Akan lebih baik jika penyerahan bantuan kuberikan saat rapat ini selesai. Dua puluh menit saat wejangan soalan bencana itu rampung, pengumuman tentang siswa teladan dengan nilai perolehan di atas rata-rata di umumkan. Aku menyimak dengan seksama, saat sebuah panggilan berulang menyadarkanku.

"Mohon orangtua dari Damar, di harapkan maju ke depan. Orangtua dari ananda Damar Algranindra harap maju ke depan."

Aku terdiam selama beberapa detik saat tahu jika sebenarnya aku yang sedang di cari. Saat tatapan mata seolah menunggu sesuatu dariku. Aku? Haruskan aku maju??

"Dan sekalian wejangan atau sepatah dan dua patah kata agar dapat di jadikan pembelajaran bagi wali anak-anak yang lain, ya Pak."

Astaga bocah tak ada akhlak itu tak memberitahuku tentang ini. Awas saja.

=======




Bara di mata BaryDonde viven las historias. Descúbrelo ahora