Bab 18

2.7K 424 2
                                    

Bara di mata Bary 18

Baryndra Ahmad Maliki

Dadaku berdetak kencang. Sosok Guan dengan handuk yang dikenakannya membuat tubuhku kehilangan kendali. Wajahnya kembali seperti belasan tahun silam, ada apa ini? Hanya butuh sepersekian detik saat aku meraihnya dan membekap bibirnya dengan bibirku. Awalnya hanya meraup, lalu intensitasnya berubah seriring dengan gerakan bibir Guan yang samar namun membuatku setengah mati tersiksa.

 

Kami masih bergulat dan dengan tidak sabaran mengimpitnya menuju ranjang kami. Sebentar lagi aku akan sampai di singgasanaku saat sebuah teriakan membuatku berhenti meraup Guan.

 

“Singkirkan tanganmu dari tubuhnya,” teriak salah seorang di sana, yang wajahnya tidak dapat kukenali.

 

“Jangan harap bisa menyentuhnya, dasar pria hidung belang. Keluar dari gubuk kami,” teriak anak yang satunya, dan anehnya wajah mereka tidak terlihat jelas. Ini, ada apa? 

 

Aku…akuu…

 

Aku terkesima saat menyadari taka da lagi Guan dalam pelukanku. Kemana canduku? Kemana dia?

 

Perlahan aku membuka mata dan terbangun dari tidurku dengan napas terengah. Sungguh mimpi yang konyol. Lagi-lagi tentang Guan. Di satu sisi aku memang selalu berharap dia ada dalam mimpiku, tapi di sisi lain aku heran kenapa selalu saja ada penggangu di akhir mimpiku. Dan selalu suara remaja yang sama, aku seolah mengenali intonasi dan ritme suaranya. Apakah anak dalam mimpiku itu anak Guan? Dan benarkah jika aku berusaha mendekati Guan, anaknya tidak akan setuju? Oh God, aku merasakan  emosi dan dadaku bergetar hebat jika memang benar kemungkinannnya akan terjadi seperti itu. 

Inilah akibatnya jika aku memaksakan diri tidur menjelang maghrib. Yak tubuhku begitu Lelah setelah seharian bertempur dengan emosiku sendiri. Setelah mengantar anak tanpa akhlak itu pergi ke rumah pacarnya, aku segera melaju menuju bandara dan kembali terbang bersama Pandu menuju Palu. Setengah lima sore aku telah berada di Basecamp dan menyempatkan diri beristirahat sejenak. Dan hasilnya, mimpi burruk itu menghantuiku.

Jalan-jalan kota Palu masih saja di penuhi beberapa spanduk yang dengan jelas mengatakan butuh air. Sebelum tidur tadi, Ralik sempat melaporkan jika telah membagikan ribuan kardus air minum ke ratusan titik pengungsian, dan besok mereka akan mencoba menyisir lokasi kabupaten Sigi pedalaman.  Mengingat pekerjaan ini membuatku sadar jika secara mental aku sudah lebih siap menghadapi yang terburuk. Bahkan saat gempa dengan kekuatan 5 SR datang lagi, aku menangkap wajah cemas dan ketakutan bukan main dari  karyawan yang bertugas jaga di Basecamp.

Aku bangkit dari tidur mengenakan kembali baju kaos putihku yang sempat kubuka sesaat sebelum tidur. Kuperiksa kembali ponselku dan memandangi chat dari anak tanpa akhlak, dan sepertinya anak itu menjalankan semua perkataannya. Terbukti tak ada lagi chat yang masuk darinya, padahal biasanya chat darinya akan masuk tiap satu atau dua jam. 

Bara di mata BaryDonde viven las historias. Descúbrelo ahora