Bab 16

2.7K 421 6
                                    

Bara di mata bary 16

Aku tercengang melihat keberanian anak ini saat menantang mata kakekku. Astaga! Semoga saja tidak terjadi hal yang kutakutkan. 

“Namanya Raguan, Kek. Dia wanita yang kutinggalkan dulu dan telah kunikahi. Aku tidak tahu jika dia mengandung sewaktu kutinggalkan dia di Selayar,” kataku tenang tanpa emosi. Hah, biarlah sekalian aku tercebur. Toh Guan juga memiliki anak. Aku tidak masalah jika harus mengakui anak Guan sebagai anakku. 

Namun ada sesuatu yang menggangguku saat wajah anak tanpa akhlak itu berubah penuh amarah. Ada apa ini? Apakah mungkin dia marah karena aku tidak akan menggunakan jasanya lagi? Ah semua hal ini membuatku pusing tujuh keliling.

“Intinya aku akan membatalkan semua urusan dengan keluarga Audi, jika kamu bisa membawa bukti,” kata kakekku lagi, sambil mengelus rambut bocah itu. Apa? Kakek mengelusnya? Sip. Kurasa ini ada gunanya juga. Minimal aku bisa membuat kakek menunda semuanya, sampai aku ngobrol sama Guan. Ya Guan pasti bisa membantuku. Ya, Guan ku tersayang. 

Jujur saja aku bukannya anak tak tahu di untung, mengingat keturunan Maliki terancam putus, wajar jika orang tua kolot ini seolah dikejar waktu. Ah..andai anakku Toleran masih hidup, dia…dia…ah..sudahlah. Tak patut menyinggung yang sudah-sudah.

Aku melihat wajah bocah itu meringis seolah ada sesuatu yang menyakitinya. Anehnya dia bertatapan lama dengan kakekku, tunggu apa yang mereka berdua lakukan? 

“Sudahlah Kek, aku hanya ingin semuanya jelas. Kalaupun kakek mempermasalahkan semua sumbangan dan bantuan yang kakek berikan, aku yang akan mengembalikannya nanti, tapi ya cicil ya kek?”

“Cicil? Cicil kunyukmu Baryndra Ahmad Maliki. Duit ya tetep duit. Tidak ada istilah cicil-cicil. Kalau kamu tidak bisa membuktikan anak ini benar keturunanku, menyerahlah dengan setuju menikahi Audi.”

Aku baru saja akan menjawab pertanyaan kakek saat kulihat gerakan kaki bocah itu mendekati salah satu Aglaonema Kakekku. Tunggu, apa yang dia lakukan? Kusaksikan tangannya mengelus permukaan daun-daun antik itu seolah mereka benda berharga. Yah..baguslah, Nak. Kamu lebih baik menyibukkan dirimu. Jangan menambah luka diatas pat…..what? patah? Bunga itu patah? Dia..dia..berani mematahkan daun itu? Aku..kurasa aku akan gila sebentar lagi. Ini…sebenarnya bagian mana dari semua perkataanku yang bocah ini tidak paham?

Dengan semua kemarahanku yang mencapai ubun-ubun, ku Tarik paksa tangannya agar membuatnya menghentikan semua kelakukan gilanya.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu tahu apa yang kamu lakukan, hah?,” hardikku marah. Kali ini aku benar – benar dibuat hilang kendali karenanya. Kutarik tangannya dan berniat segera berlalu dari sana.

“Kek, aku kembali dulu. Pembicaraan kita sampai di sini. Dan soal bunga itu, aku janji akan mencarikan kakek yang lebih baik, ok? Jadi, mohon singkirkan semua ide buruk di kepala kakek, karena aku cucumu satu-satunya. Deal?”

Setelah mengatakan semua itu aku mempercepat langkahku dan masih dengan jelas mendengar tawa kakekku yang menggema. Gawat jika hanoman itu tertawa, akan ada hal besar yang dilakukannya.

Bara di mata BaryWhere stories live. Discover now