Bab 6

3.1K 449 5
                                    

Raguan Mindra Rysdad

--------------
Aku bersama perwakilan dari tim penanggulangan bencana Universitas, tiga Dokter, lima perawat beserta lima Akademisi yang memilki konsen terhadap bencana bertolak ke Palu pukul tiga sore dari Makassar. Sebelum berangkat, ku pastikan dulu Kak Anggun menjaga si kembar dengan baik selama aku di Palu. Sejauh ini kami menargetkan akan tinggal selama sepuluh hari. Paling tidak sampai status masa tanggap darurat bencana di cabut dan berganti menjadi masa transisi pemulihan.

Bencana yang terjadi di Palu menyita perhatian dunia. Menurut berita yang kubaca, selain Tsunami dan Gempa Bumi, ada fenomena lain yang menyerupai tanah dan menghisap beberapa rumah warga. Aku sempat melihat dan mengamati video lalu mendiskusikan beberapa kemungkinan kepada tiga rekanku.

“Ini pernah terjadi di Jepang, Gu. Aku baca refrensinya siang tadi di pramban internet. Bentar ku kirim Link nya. Hanya, untuk di Indonesia sendiri, ini fenomena baru. Jadi, wajar kalau heboh,” kaya Yahya memberiku informasi.

Jepang? Bahkan asal kata Tsunami juga berasal dari Jepang. Tsu yang berarti lautan. Dan nami yang berarti gelombang ombak. Negara dengan potensi beragam bencana ini memang sangat eksis di bidang bencana.

“Aku fokus mau ngamatin ketinggian air Gu setelah Tsunami. Sama tingkat kebersihan pasca bencana. Nanti aku minta di plot gabung sama relawan lokal ya, biar bisa nganter ke titik Tsunami,” Kusya, kawan bagian kesehatan lingkungan menimpali.

“Saat tiba nanti, kita langsung ngadap kepala dinas kesehatan aja, kebetulan dulu kami sekelas lanjut sekolah. Semoga bisa dimudahkan ya rencana kita,” kataku.

“Setuju, saran ya Bu ibu. Kita fokusin dirikan tenda di lokasi yan tidak jauh dari lokasi bencana atau tempat pengungsian. Biar mudah aksesnya. Yang utama harus ada MCK. Gawat kalau gak ada,” timpal Kadar, salah satu dokter dan juga teman ngajarku di Kampus.

Kami sebenarnya telah menyusun beberapa skenario saat tiba di Palu nanti. Kami akan membagi diri dalam tiga tim. Tentu dengan perencanaan matang dan langsung menuju titik urgen pengungsi dan tidak jauh dari lokasi bencana. Bantuan yang kami bawa lebih menitik beratkan di pengendalian kesehatan pasca bencana. Dan bantuan trauma healing bagi para anak-anak dan remaja. Aku berharap ketiadaan jaringan bisa membuat semuanya berjalan lancar nantinya.

Kami menargetkan bisa tiba keesokan siang di Palu jika tidak ada halangan di perjalanan. Mengingat perjalanan ini sama saja menguak kisah lama delapan belas tahun yang lalu. Masa-masa di mana aku masih muda dan merasa tidak berdaya. Masa di mana aku menyaksikan kejadian brutal yang di alami keluargaku belsan tahun silam.

Hari sudah siang saat kendaraan kami di cegat oleh beberapa kelompok masyarakat. Aku mengenal bahasa mereka. Sangat akrab malah.

“Sebelum masuk Palu, turunkan bantuan untuk kami Juga. Kami butuh bantuan, di sini tidak ada pasar dan toko yang buka sejak bencana dua hari yang lalu,” kata seorang pria dengan rambut gondrong dan baju berwarna pudar.

“Maaf ya, Pak. Yang kami bawa hanya obat-obatan dan beberapa bekal kami. mungkin kalau hanya dua atau tiga dus indomi bisa kami kasih. Lebih dari itu, maaf,” ujar Yahya menjawab pria di hadapannya.

Aku masih memperhatikan dan mengamati keadaan. Ada dua belas pria dengan tampang yang sama tapi dengan baju serta postur tubuh yang berbeda. Di rumah warga hanya ada beberapa ibu yang menggendong anak balitanya dengan tampang memelas yang sama. Instingku mengatakan mereka bukan korban. Tapi orang entah dari mana yang memanfatkan keadaan. Berhubung daerah ini bukan daerah yang padat penduduk. Di sebelah kanan bahkan masih gunung. Membutuhkan waktu dua jam lagi agar kami bisa sampai di Palu. Sungguh perjalanan yang melelahkan.

Bara di mata BaryOnde histórias criam vida. Descubra agora