12th : Please, Wake Up

3.1K 335 21
                                    

16.24 WIB,
Rumah Sakit Mitra Kasih
Bandung-Jawa Barat

Chandra, Chenka, dan Rayn baru saja menyelesaikan kelas mereka hari ini.

Sampai dirumah pun, langsung bersiap pergi menuju rumah sakit yang lokasinya sudah diberitahu oleh Reno. Mereka senang sekaligus sedih, senang bisa tahu tempat dimana Rey dirawat namun sedih ketika tahu hal buruk terlah menimpa saudara mereka yang satu itu.

Pastinya, ketiga orang ini khawatir. Terlebih Rayn yang begitu dekat dengan Rey harus menerima kenyataan kalau kakaknya sekarang terbaring di kasur rumah sakit. Chenka yang menjadi pendiam berkat kabar yang Chandra berikan padanya. Serta Chandra, yang menjadi murung akibat kabar buruk ini.

"Dek, jangan nangis ya nanti? Mas Rey gasuka kalau Rayn cengeng tau," goda Chandra saat menatap Rayn yang murung.

Rayn menatap tak suka wajah sang kakak, ia malah membuang pandangannya ke arah lain. "Aku cuman takut, bang. Gimana kalau mas Rey ga selamat? Gimana kalau mas Rey jadi kayak ibu?" Intonasinya melirih diakhir kalimat. Menyiratkan luka mendalam serta rindu bahkan setelah dua tahun berlalu.

Chandra diam dalam langkahnya. Tanpa kata, ia mengait lengan Chenka yang diam saja lalu merangkul bahu Rayn yang sedikit lebih tinggi darinya.

"Semua bakal baik, jangan pesimis dan ingat selalu kata ibu. Kita bukan kita tanpa salah satu dari kita,"

Chandra melepaskan tangan dan rangkulannya begitu tampak sosok tiga orang tengah duduk dikursi tunggu dengan raut khawatir. Ia membuang nafas untuk meredakan ketakutan dan kekhawatirannya dalam hati. Chandra mendekat disusul oleh kedua adiknya.

"Kak Arkan, Reno, Nares!" Panggil Chandra yang membuat ketiganya menoleh.

"Keadaan Rey, gimana?" Tanya pemuda Tan itu. "Operasi pemasangan pin baru selesai, sekarang masih diperiksa dokter di ICU. Keadaan Rey sempat drop tadi," jelas Arkan.

"Ah, okey. Kak Arkan kapan sampai? Rey bilang kemaren kalau kakak balik besok," -Chandra.

"Mana bisa gitu setelah Nares nelepon kakak trus bilang soal keadaan Rey. Kakak egois dong kalau cuman mentingin diri sendiri dengan tetap ada di Surabaya dan pantau kalian dari sana aja." -Arkan.

"Maaf--

--dokter bernama Arnita itu keluar dari ICU dengan pakaian steril. Menghampiri keenamnya dengan wajah lelah. "Pasien sudah bisa dijenguk dengan batas dua orang saja yang bisa masuk. Kalian yang tenang, pasien sudah membaik dan bisa menjalani perawatan hingga sembuh nanti." Katanya sambil tersenyum.

Arkan dan yang lain lega. Mereka mengucapkan terimakasih atas kerja keras sang dokter. Namun, Chandra berucap. "Keadaan teman saudara saya gimana, dok?"

"Kalau pasien yang satu lagi, kondisinya tidak terlalu parah. Ia hanya mengalami luka gores dan patah tulang lengan. Kami sudah tangani itu dan dia berada di ruang VVIP, kami juga sudah hubungi keluarga nya untuk datang hari ini." Jelas dokter Arnita panjang lebar.

Setelahnya, dokter muda itu pamit undur diri dari sana. Menyisakan enam pemuda yang bimbang memilih siapa yang akan masuk lebih dulu kedalam sana. Arkan menatap adik-adiknya, "Kalian mau masuk?"

Rayn dan Chenka menggeleng, sementara Nares, Reno, dan Chandra tak menjawab. Membuat yang lebih tua menghela nafas lelah. "Yaudah, kakak duluan ya?" Arkan pergi ke tempat dimana ia bisa menemukan adik keduanya yang dua hari ini tak ia temui dan sebelumnya ia dipakaikan baju steril sebelum masuk kedalam ruang ICU.

🍀

22.45 WIB,
Rumah Sakit Mitra Kasih
Bandung-Jawa Barat

Hari sudah malam, waktu pun sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih empat puluh lima menit malam. Dua jam lalu, Rey sudah dipindahkan ke ruang rawat VVIP karena ia sudah melewati masa kritisnya. Rayn pun juga mulai memberanikan diri untuk masuk dan melihat keadaan sang kakak.

Biasanya di jam segini, pasti Rey masih terbangun dan Rayn datang untuk ikut tidur bersama atau dimintai nasihat mengenai sekolahnya. Tapi sekarang, keadaan berbeda, Rey yang biasanya masih bangun kini sudah terlelap di kasur yang bahkan tidak nyaman untuk lelaki itu gunakan.

Sekarang Rayn sedang sendiri, sebelumnya yang lain mengajaknya ke kantin rumah sakit untuk mengisi perut. Tapi ditolak oleh Rayn dengan alasan ingin disini bersama Rey. Lelaki jangkung itu terduduk dikursi samping brankar sang kakak. Menatap setiap bagian tubuh Rey yang terluka. Lalu meringis ngilu juga ketika menatap kepala Rey yang terbalut perban.

"Mas ngerasa sakit kan? Makanya gausah ambil kelas malam terus. Jadi gini kan? Mas liat apa hasilnya? Mas luka-luka, mas jadi sakit. Mas tau banget kalau Rayn ga suka liat saudara Rayn susah apalagi sakit. Tapi kenapa sekarang mas yang langgar kata-kata Rayn itu, hah?"

Rayn mengoceh sendirian untuk meluapkan kekesalannya pada sang kakak. Rey tidak pernah mau mendengarkan ucapan Rayn karena pria itu terlalu banyak memiliki energi positif disekitarnya. Hingga membuatnya tak pernah memiliki prasangka buruk pada orang lain, bahkan saudaranya sendiri. Rayn meraih telapak tangan dingin milik Rey lalu menggenggamnya erat.

"Mas harus cepat bangun, biar Rayn ada temen tidurnya lagi. Cepat sembuh mas Reyvan.." kalimatnya diakhiri dengan setetes liquid air matanya jatuh.

Rayn mencoba menangis dalam diam, agar semua orang tahu kalau ia kuat dan tidak cengeng. Kepalanya tertunduk diatas lengan Rey yang bebas infus. Rayn menumpahkan kesedihannya disana hingga tak sadar kalau sedari tadi ia diperhatikan oleh Nares dan Arkan yang entah sejak kapan berdiri diluar ruangan. Mengintip dari kaca pintu, menatap adik bungsu mereka sendu.

Lewat lirikan mata, Arkan meminta Nares untuk masuk dan membujuk Rayn agar pulang. Hari sudah larut, dan Rayn harus tidur untuk kelas paginya besok. Tanpa sepatah kata, Nares memasuki ruangan serba putih itu dan menepuk pelan bahu lebar sang adik.

"Rayn?" Panggilnya. Anak itu menoleh, matanya sembab. Bahkan jejak air mata masih terlihat jelas dipipinya. Nares pun menjadi tak tega melihat keadaan adik bungsunya ini, "Pulang ya? Mas Rey butuh istirahat, kamu juga harus istirahat."

"Tapi Rayn mau disini, kak. Rayn mau jagain mas Rey sampai dia bangun," Rayn menunduk lagi. Arkan yang menyaksikan dari luar langsung masuk untuk memberikan adiknya itu pengertian, "Rayn, kamu pulang dulu ya? Besok datang lagi. Inget, badan kamu juga perlu istirahat. Kamu juga harus kuliah besok, jadi pulang ya, dek?" Ucapnya.

Rayn menimbang dengan baik, ia menatap wajah damai Rey. Lalu menghela nafas dan memilih untuk menuruti kata-kata kakak tertuanya ini. Nares dan Arkan tersenyum ketika Rayn tidak sulit dibujuk untuk pulang. Arkan juga meminta Nares untuk menemani Rayn serta mengajak yang lain pulang.

"Kak Arkan, kopernya sekalian Nares bawain ya? Besok pagi, Chandra kesini bawain baju kakak." Kata Nares sebelum meninggalkan ruang rawat.

Arkan hanya menganggukkan kepala. Kemudian termenung ditemani dengan suara mesin Elektro Kardio Grafi yang nyaring itu. Melantunkan doa dalam diam, berharap kalau Rey akan baik-baik saja tanpa terjadi hal buruk kedepannya.

-7A's Brother-

7A's Brother✓Where stories live. Discover now