Prolog

137 11 40
                                    


Matahari pagi menyapa seorang pemuda dengan sinarnya yang menerobos di sela-sela jendela kosan membuat pemuda itu berdecak, terbangun karena sinar matahari menyorot tepat di mata tajamnya.

Dengan gerakan teramat malas pemuda itu menyambar handuk, beranjak untuk mandi mengingat hari ini adalah hari di mana dia harus kembali bersekolah setelah melewati libur panjang.

Tok tok tok!

Baru akan meraih gagang pintu kamar mandi, tubuh pemuda itu dibuat berjalan memutar arah saat mendengar ketukan di pintu kamar.

Tok tok tok!

"Hm, bentar," ucapanya lirih sambil mengelus perut ratanya, merasa lapar.

"Pagi, Bian!"

Bian, pemuda bernama lengkap Fabian Fatra Renggana itu terlonjak kaget mendengar suara cempreng dari seorang gadis, bahkan saat pintu belum sepenuhnya terbuka.
Sialan lo, mbak!

"Pagi, Mbak."

"Ih, udah berapa kali Mentari bilang, jangan panggil Mbak! Selisih umur kita 'kan cuma lima tahun," ucap Mentari seraya mengangkat tangan kanan memperlihatkan kelima jarinya.

Keberadaan Mentari pagi ini menjadi pengusik pagi Fabian seperti sinar matahari yang menusuk mata.

"Hm, iya. Mentari," balas Fabian seadanya menahan rasa jengkel. Jika bukan karena Mentari adalah tetangga kos yang bertempat tepat di atas kamarnya maka Fabian tak pernah mau berbicara dengan gadis cerewet itu.

"Bian hari ini mau sekolah, ya?" Mentari bertanya dengan sedikit malu-malu.

"Iyaa.." Fabian manjawab sambil menguap dan mengacak-acak rambutnya tanpa malu di depan Mentari.

Namun gerakan yang dilakukan Fabian justru membuat Mentari menahan napas, tak mau melewatkan momen yang menurutnya spesial itu, bahkan dengan berkedip dan mengambil napas.

"Kenapa?" tanya Fabian melihat Mentari yang hanya diam.

"Aku boleh nebeng, kan?"

"HAHH?" Persetan dengan bau mulut, intinya Fabian terkejut. Fabian kira kedatangan Mentari untuk memberikan sarapan gratis seperti biasanya, ternyata dugaannya salah.

"M-motor aku masuk bekel, Bi. Jadi nggak bisa ke kampus. Kemarin aja aku pulang dianter temenku."

Fabian tahu dirinya anak yang tampan, ramah dan bertanggungjawab apalagi pada seorang perempuan. Fabian juga tahu bahwa dirinya adalah sosok yang diidam-idamkan oleh banyak perempuan, dan kelak menjadi sosok suamiable atau mungkin hot daddy. Mungkin loh, ya.

Tapi kenapa sikapnya terkadang disalah artikan dan berujung dimanfaatkan. Seperti saat ini. Ada rasa ingin menolak namun rasa sungkan selalu mendominasi. Lagi pula dirinya terlalu bingung mencari alasan untuk menolak.

"Kenapa sekarang nggak minta anter temen?"

"Eum anu, Bi.."

Satu alis Fabian terangkat. "Anu?"

"Aku nggak suka sama temenku yang nganter. Dia—"

"Taksi. Cari di depan ada mbak," usulnya cepat sambil tersenyum ramah.

Mentari menggelengkan kepalanya tidak mau.

"Angkot-angkot banyak."

"Ih! Kamu kan tau aku nggak—"
Fabian tersentak seperti mengingat sesuatu.

"Bentar, Mbak."

Kepalanya menengok kebelakang lalu melotot melihat jam dinding yang menunjukkan hampir pukul tujuh, membuatnya segera berlari masuk ke dalam kamar mandi, berteriak kencang meninggalkan Mentari yang kini terbengong di depan pintu.

ShadowWhere stories live. Discover now