Chapter 16

22 5 13
                                    

Satu hari sebelumnya..

Shilla langsung menarik Daisha keluar dari kelas setelah bel istirahat berbunyi. Gadis itu berjalan tergesa menuruni tangga dengan Daisha yang berusaha mengimbangi langkah kakinya.

Daisha mengerutkan kening melihat banyaknya murid yang mengelilingi mading yang berada di lobi sekolah.
"Ada apa, sih, Shil?"

"Pengumuman persyaratan olimpiade udah keluar."

Daisha berjinjit di belakang siswi yang berdesakan. Beberapa dari mereka memekik karena saling dorong. Dia dibuat bingung saat melihat Rafa yang berjalan santai keluar dari kerumunan dengan tangan yang dimasukan ke dalam saku celana.

"Minggir lo semua," ucap Shilla menyingkirkan orang-orang yang ada di depannya, membuat mereka berdecak kesal.

"Apaan sih, lo!"

"Minggir!"

"Dih, mentang-mentang anak IPA!"

Daisha membiarkan Shilla menerobos kerumunan. Dia memilih menunggu Shilla di bangku yang ada di koridor.

"Sha."

Daisha tersenyum melihat Ima dan Sabila yang berdiri di dekatnya.

"Kok lo udah di sini aja, Sha."

"Iya nih, udah ngacir aja lo. Nggak nungguin kita."

Daisha tersenyum kikuk. "Maaf."

"Kalian mau liat pengumuman olimpiade juga?" tanya Daisha yang dibalas gelengan oleh Ima.

"Kenapa?"

"Gue nggak pinter," ucap Ima lalu duduk di samping Daisha, diikuti Sabila yang menyempil duduk di tengah-tengah mereka sambil menyengir polos.

Daisha terkekeh. "Nggak mungkin masuk IPA 1 kalo nggak pintar."

"Gue nggak sepintar itu buat ikut olimpiade." Ima menghembuskan napas panjang. "Nggak minat juga buat ikut olimpiade yang jelas-jelas susah, ribet lagi. Nanti tugas OSIS gue keteteran."

"Lo mau ikut, Sha?" tanya Sabila membuat Daisha terdiam.

Daisha memang tidak akan mengikuti olimpiade tapi dia akan tetap belajar untuk Shilla karena gadis itu pasti mengikuti lomba olimpiade. Jika tidak, untuk apa Daisha diadopsi dan dipersiapkan jauh-jauh hari oleh Aldo.
"Enggak."

Ima menaikkan alisnya. "Loh, kenapa? Lo, kan, pintar. Ya walaupun masih unggul si Shilla sih, kalo ulangan. Tapi gue yakin lo bisa ngalahin Shilla."

"Eh, kadang gue heran. Shilla kok bisa dapet nilai seratus mulu tiap ulangan," bisik Sabila.

Ima mengedikan bahunya. "Entah, dulu waktu kelas sepuluh nilainya masih bisa kita senggol ya, Bil. Nggak tau tuh, dia sekarang makin pinter aja."

"Kok bisa ya."

"Tau tuh."

"Mungkin dia makin rajin belajarnya," sahut Daisha sekenanya. Sebenarnya Daisha takut pembicaraan mereka sampai ke mana-mana. Ima dan Sabila tidak tahu bahwa Daisha mengenal Shilla dengan akrab, apalagi tinggal satu rumah dengan gadis itu. Sebisa mungkin Daisha harus menyembunyikan identitasnya sebagai saudara 'adopsi' Shilla dari mereka.

Ima menggaruk pelipisnya pelan. "Iya, sih. Dia, kan, ambisius banget buat dapat peringkat satu. Dan olimpiade gini, dia pasti ngincer banget tuh, buat jadi peserta olimp. Apalagi tahun lalu dia, kan, gagal karena kecelakaan."

Sabila menghela napas. "Kasian juga, ya, padahal dia jadi perwakilan sekolah. Mana sekarang harus pakai alat bantu dengar di telinganya."

Daisha tersenyum tipis. "Bisa aja karena kecelakaan juga bikin dia lebih optimis jadinya makin pintar."

ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang