Bukan waktu yang tepat

965 65 0
                                    

Dirga menggenggam tangan Bulan. Membawa gadis berperawakan mungil itu ke suatu tempat di mana tidak ada dua bocah pengganggu.

Dirga membawa Bulan ke taman mansion Keluarga Pradipta. Menuntun sang kekasih agar duduk di sampingnya. Tautan tangan mereka tak terlepas, seperti ada lem yang semakin mengeratkan tangan mereka.

Hening, tidak ada suara dari keduanya. Mereka hanya saling diam menatap ke depan, di mana di situ terdapat banyak bunga dan pohon yang sangat cantik dan indah.

"Bulan," panggil Dirga yang masih setia menatap hamparan bunga.

Bulan menoleh, mendapati sang kekasih yang sedang menatap ke depan. "Iyah, Pak."

"Saya ...." Dirga tak melanjutkan ucapannya, ia rasa ini bukan waktu yang tepat untuk mengutarakan yang sebenarnya pada Bulan.

Bulan menyerengitkan dahinya bingung. "Saya apa, Pak?" tanya Bulan penasaran.

"Tidak jadi!" Dalam hati Bulan terus mengoceh tak jelas. Pasalnya Dirga selalu saja berbicara formal padanya, tidak ada manis-manisnya sama sekali, dan Bulan tidak akan bisa membayangkan kalau nanti ia dan Dirga menikah, laki-laki itu akan tetap berbicara formal dan dingin padanya.

"Bapak bisa gak sih, jangan berbicara formal sama saya? Saya 'kan ... tunangan bapak." Bulan memelankan suaranya saat di ujung kalimat lalu menundukkan kepalanya dengan wajah memerah.

Dirga terkekeh kecil mendengar penuturan sang kekasih yang terdengar kesal, tapi sangat menggemaskan di mata Dirga. Laki-laki itu mengubah posisinya berhadapan dengan Bulan. Tangan kekar yang di balut dengan kemeja marun itu mengenggam kedua tangan sang kekasih dengan sangat posesive.

'Ya, ampun! Jantung gue?!' Dalam hati Bulan menjerit kesenangan. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat, mencoba untuk tidak menimbulkan suara yang nantinya akan membuat Dirga ilfeel padanya.

"Gimana saya tidak mau berbicara formal sama kamu, kalau kamu saja masih memanggil saya dengan sebutan Bapak," seru Dirga seraya mengangkat dagu Bulan untuk menatapnya.

Bulan meringis pelan. Merutuki kebodohannya.

"Terus, saya harus manggil bapak apa dong?" tanya Bulan mencoba melepaskan tautan tangan mereka.

Genggaman tangan Dirga semakin erat saat Bulan mencoba melepaskan tautannya. Laki-laki itu menatap posesive Bulan, seakan-akan tak ingin Bulan menjauh sedetik pun darinya.

"Terserah."

Bulan mencoba berfikir dengan kepala sedikit mendongak ke atas, diikuti dengan bola matanya yang ikut naik. Sangat menggemaskan bukan? Ia masih terus berfikir mencoba mencari nama panggilan apa yang cocok untuk sang kekasih.

Mata bulatnya melotot seketika. Ia sudah mendapatkan nama panggilan yang cocok untuk Dirga.

"Bulan sudah dapat nama panggilan yang cocok untuk bapak." Diam-diam Durga menggulum bibirnya senang lalu, ia kembali mengubah wajahnya menjadi datar.

"Apa?"

"Batu!" serunya diiringi dengan kekehan konyol.

Dirga melepaskan tautan tangan mereka, mengubah kembali posisinya menjadi ke depan. Dirga merasa panggilan itu kurang memuaskan hatinya, ia ingin panggilan yang sedikit romantis.

Bulan dapat melihat wajah Dirga yang murung seketika. Apa Dirga tidak menyukai nama panggilan itu?

"Sayang ...," lirih Bulan dengan manja. Tubuh Dirga menegang saat mendengar pangilan dari Bulan yang romantis dan sedikit manja, dan Dirga menyukai itu.

Bos Galak (ON GOING) Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum