17. Power Rangers

64 15 4
                                    

Mereka datang lagi. Lebih banyak sampai bisa memenuhi seisi ruangan. Wajah mereka tidak bisa di lihat karna tertutup topeng hitam. Mereka berbahaya. Mereka jahat. Mereka itu siapa? Kenapa membawa banyak senjata dan mengantonginya dimana-mana.

Dar! Dar! Suara itu terdengar lagi, berulang kali. Ada gadis kecil yang langsung menutup telinganya dengan tangan. Memejamkan matanya takut. Telinganya sakit, sampai merasa berdengung. Tolong hentikan ini!

Dar!

Prang!

Semua kacau. Mereka merusak seluruh barang. Seakan tidak ingin ada yang tersisa. Membuat pecahan kaca dan patahan barang berceceran dimana-mana.

"Bunda!!" Berkali-kali berteriak tapi tidak ada yang menyahut panggilannya. Gadis kecil itu sangat ketakutan. Tubuhnya gemetar hebat. Air mata yang tidak berhenti menetes, membasahi pipi.

"Jangan! Saya mohon!"

Dar!

Dar!

Dar!

"Argghhhh!!!!"

"Bunda!!!" Ketika membuka mata ada sesosok tubuh yang jatuh tergeletak. Wajahnya menoleh menghadap kearahnya. Pandangan mereka bertemu. Gadis kecil itu melotot melihat tubuhnya. Penuh darah. "Bunda!!!!!!!"

Menyesal karna hanya bisa berteriak. Tubuh itu tidak bergerak lagi. Matanya perlahan memejam, dan tidak terbuka lagi.

Seseorang dengan penutup kepala yang menutupi wajahnya perlahan berjalan mendekat. Dengan langkah pelan tapi mampu membuat jantungnya berdegup tidak karuan. Tidak sengaja melirik tangannya yang menggenggam sebuah benda. Pistol hitam yang masih berasap. Orang itu mengangkat tangannya, menodongkan pistol ke arahnya. Jarinya sudah siap menekan pelatuk.

Anak kecil itu melotot ketakutan, matanya sampai bergetar. Ada setetes air mata yang menuruni pipi. Dengan sekuat tenaga berteriak. "Bunda!!!!!!!!!"

"Bunda!" Airin terbangun duduk. Nafasnya terengah-engah. Menoleh kanan kiri dengan cepat menatap sekitar. Menghela nafas ketika tersadar dirinya berada di sebuah kamar. Ternyata hanya mimpi. 

Airin mengusap wajahnya. Mengelap pipinya yang basah. Airin berusaha menenangkan diri. Meyakinkan semua itu hanya mimpi dan tidak akan terjadi lagi.

Tapi semua itu terasa nyata. Suara itu, benar-benar seperti Dejavu. Tetesan darah, pecahan kaca, suara keras yang membuat telinganya berdengung.

Mimpi itu lagi. Sudah dua minggu Airin tidak bermimpi itu. Airin menghela nafas. Mungkin ini karna kejadian tadi pagi. Akibat kelelahan karna menangis seharian membuat Airin bermimpi buruk lagi.

Airin beranjak dari ranjang. Berjalan ke kamar mandi. Membasuh wajahnya dengan air agar Airin bisa sedikit lebih tenang. Keluar dari kamar mandi melihat jam di dinding. Sudah jam enam. Airin kembali masuk ke kamar mandi, segera bersiap ke sekolah.

Setelah rapih Airin keluar dari kamar. Menuruni tangga sambil merapihkan dasi. Airin berjalan masuk ke dapur, langkahnya terhenti melihat seseorang yang duduk di salah satu kursi meja makan.

Ansila tidak sengaja melirik, kemudian menjadi menoleh sepenuhnya. Seketika bibirnya tersenyum lebar. "Hai kak!" Sapanya dengan riang. "Sini kak, sarapan bareng aku,"

Airin hanya terdiam mematung. Melihat senyumannya yang ceria tanpa beban. Enak sekali bisa tersenyum lebar seperti itu. Seperti hidupnya selalu baik-baik saja.

Membuang muka mengalihkan mata, Airin menatap Mbok Ijah. "M-mbok, aku mau berangkat,"

"Loh ndak sarapan Sam? Ndak bikin bekel? Sarapan dulu bareng Non Ansila yuk,"

CURIOUSWhere stories live. Discover now