Sebelum Solat Bertanya (3-End)

17.9K 902 37
                                    

Maaf yaaa nunggu lama. Kekeke~~
Maklum mulai sibuk hihihi~~
Yang part ini gak tahu deh. Semoga bermanfaat aja dah yaaa

♡♡♡

(Part Ardan-Dina) (Bagian B-End)

"Masih tidak tahu? Dari tadi baca apa?" Todong Marshall ketika sudah dua jam menunggu.

Bocah-bocah itu kompak menunduk. Tak bisa menjawab. Sepanjang dua jam tadi, mata boleh saja menatap buku. Tapi pikiran kemana-mana. Menyalahkan sang ustad. Bukan menyalahkan diri sendiri. Yang berbuat salah siapa? Kok malah sewot mengatai Marshall sok ikut campur urusan mereka? Apa tidak malu sudah bersalah tapi tak mengaku salah? Di akhirat nanti tak bisa menghindar loh. Ini baru hukuman di dunia. Bagaimana diakhirat kelak?

"Sebentar lagi ashar. Kalian ambil wudhu dan solat disini. Setelah solat, menghadap ustad lagi." Titah lelaki itu lalu berjalan keluar.

Tiga bocah yang sedari tadi diam itu kini mulai berkoar-koar saling menyalahkan. Saling menuduh siapa yang mengajak naik pohon duluan. Padahal giliran enaknya bersama-sama. Giliran sakitnya tak mau.

"Udah mending kabur aja sekarang!" Seru Iko mengusung ide yang membuat dua orang di sekitarnya goyah.

Apa dengan kabur akan menyelesaikan masalah? Tidak!

Yang ada malah dosanya makin banyak. Menghianati amanah. Tak takut neraka?

Ardan langsung teringat kemarahan Mamanya. Ia kabur saat wanita itu menyuruhnya membereskan mainan. Ia kabur dan memilih bersenang-senang di luar. Tapi sewaktu pulang? Mamanya murka. Kemarahan itu bertambah besar. Ia bergidik.

"Lo berdua kalo mau kabur, silahkan aja. Gue tetep disini!" Cetusnya mulai bisa mengambil keputusan.

Kesalahan ini sebenarnya mengajarkan untuk memperbaiki diri. Bukannya malah terpuruk semakin dalam. Kalau begitu mana bisa maju? Pantas saja banyak pemalas di dunia ini.

Dua orang di depannya hanya diam. Tak berani bersuara kalau Ardan sudah begini. Biarpun petakilan, dia bisa diandalkan. Walaupun yah....harus memiliki pasokan kesabaran yang banyak untuk menghadapinya. Kalau tidak ya.....bisa terkurung dalam amarah yang tiada guna. Menghadapi anak yang bebal ini memang begitu. Tak bisa diberitahu sekali.

Terkadang air ludah Aisha sudah muncrat kemana-mana, bibirnya sampai kering, tenggorokan sakit, wajah merah padam....tapi yang namanya Ardan tetaaaaap saja. Bebal!

Saat azan bergaung ditelinga, ketiganya langsung melangkah menuju tempat wudhu. Matanya tak sengaja menangkap sosok sepupunya yang alim dan lurus itu. Lelaki yang sering dibanding-bandingkan Mamanya ketika mengoceh. Seketika ia sadar. Jauh sekali dirinya dengan lelaki itu. Bagai air dan api. Bagai malaikat dan setan. Bagai langit dan bumi. Bagai dunia dan akhirat. Ia apinya. Ia setannya. Ia buminya. Ia dunianya. Sedangkan lelaki itu adalah air, malaikat, langit dan akhirat.

Ia melangkah mengambil wudhu sambil sesekali melirik lelaki itu. Ia memerhatikan. Mengambil wudhu saja sangat khusyuk. Apalagi solatnya?

Ia berjalan mengintili lelaki itu. Tatapan lelaki itu lurus ke depan. Langkahnya tegap menuju saf paling depan. Tak malu padahal yang mengisi saf paling depan itu para orang tua. Itu pun jumlahnya tak seberapa. Hanya mencapai setengah barisan saja. Yang muda-muda kemana? Tak ada.

Isi masjid ini hanya para orang tua dan beberapa anak kecil yang mau mengaji. Hanya beberapa? Berarti bisa dihitung dengan jari.

Kemana para pemudanya? Entahlah. Sepertinya hidup di dunia lebih lama membuat mereka lupa akan kehidupan diakhirat yang lebih kekal.

Entah sedang sibuk pacaran, berjalan-jalan, berbelanja, menghias diri. Entahlah. Entah kemana akal dan pikiran itu. Entah kemana otak itu. Entah kemana hati itu. Tak tahu malu.

Keluarga AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang