Kemesraan Ini (1)

47.4K 1.4K 8
                                    

Okeeee ini buat temen-temen yang udah minta part Aisha-Wira. Wkwkwk. Akhirnya nemu idenya juga. Syalala #abaikan.

♥♡♥

Aku mencebik bibirku menatap Wira.

"Wir, makanlah!" Titahku dan ia hanya menatapku sekilas lalu kembali berkonsentrasi dengan ipad.

Aku heran padanya yang setiap pagi tak bisa lepas dari ipad. Macam Kak Fadlan saja! Tapi Kak Fadlan tak separah ia. Kakakku itu akan menyingkirkan ipad-nya kalau Kak Icha datang menghampirinya tapi ini?

Aish.....

"Wira!" Seruku dan ia menghela nafas sebelum meletakkan ipad-nya di atas meja.

Apa coba maksudnya menghela nafas seperti itu?

"Dasar gak menghargai perhatian istri!" Cibirku lalu beranjak dari meja makan menuju kamar si kembar.

Aku yakin mereka pasti sudah bangun. Karena dalam hitungan detik saja, suara tangis terdengar. Ku percepat langkahku dan melihat dua anakku sudah berdiri di atas ranjang yang berjeruji. Untungnya pagarnya cukup tinggi sehingga aku tak khawatir mereka akan jatuh.

Setelah itu ku gendong mereka dan ku bawa menuju kamar mandi. Ku mandikan di dalam bahtub dengan air panas, menyabuni tubuh mereka dan memberi sampo pada rambut mereka. Setelahnya, ku gendong lagi keduanya dan ku bawa ke atas karpet yang ku pasang di lantai. Jangan tanya betapa repotnya aku mengurus mereka. Tentunya sangat merepotkan tetapi aku bahagia.

"Sha! Aku berangkat! Assalammualaikum!" Teriak Wira dari ruang makan.

Aku hanya menggelengkan kepala saja sambil menjawab salamnya di dalam hatiku. Tiga tahun menikah dengannya, ku kira ia akan lebih romantis dibanding sebelum menikah dulu. Tapi nyatanya?

Hah sudahlah. Aku tak mau emosi gara-garanya sepagi ini.

♡♥♡

"Bunda!" Teriak Tiara--gadis kecil berumur delapan tahun. Ia anak dari Kak Feri. Kakakku yang sulung. Gadis kecil itu sudah terbiasa memanggil Kak Icha dengan sebutan Bunda dan gara-gara gadis cilik itu, anakku dan anak Kak Caca turut memanggil Icha dengan sebutan yang sama. Tetapi Tiara sama sekali tak mau memanggilku dengan sebutan Mama atau memanggil Kak Caca dengan sebutan Ibu. Ia tak mau dan aku heran dibuatnya. Setiap kali aku mencoba membiasakannya, ia selalu menolak dan alasan terakhir yang ku dengar malah membuatku ditertawakan Wira.

Gadis kecil itu tak mau memanggilku dengan sebutan mama karena yang cocok dipanggil mama hanya ibu kandungnya sendiri, yaitu mantan istri Kak Feri. Dan ia tak mau memanggil Kak Caca dengan sebutan ibu karena merasa seperti memanggil ibu guru di sekolahannya.

Aku heran, apa bedanya dengan ia memanggil Kak Icha dengan sebutan Bunda?

Ku gelengkan kepala karena tak mengerti pola pikir anak kecil itu dan aku dicemooh Kak Fadlan hanya gegara aku dokter anak tapi tak mengerti anak-anak sama sekali.

"Aya mau ice cream Bunda!" Pintanya pada Kak Icha yang sedang menggendong Dina. Gadis kecilku ini memang selalu menempel pada Kak Icha dimana pun ia melihat Kak Icha. Tak hanya Dina, Fasya--anak Kak Caca-- juga begitu.

"Tapi abis itu.......," seru Kak Icha sambil menatap lekat mata cantik Tiara.

Aku hanya bisa diam melihat keduanya.

"Gosok gigi!" Seru Tiara lalu bertepuk tangan dan Kak Icha tersenyum kecil.

"Kamu mau ikut ke kantin, Sha?"

Keluarga AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang