Rumah Tanpa Perempuan (4)

7.8K 1K 94
                                    

"Dimana?"

Suara papanya menggema di ponsel. Bibir Farras sukses maju beberapa senti. Muka betenya diabaikan bundanya yang kini sedang sibuk berkaca di depan cermin. Wanita itu malah sibuk berdandan, mengabaikan tampang Farras yang udah kesal sekaligus pengen nangis.

Emaknya ini benar-benar kekanakan sementara papanya terlalu santai menanggapi. Udah tahu kalau bundanya makin berani sekarang! Apalagi ia makin gede. Makin dewasa. Apa-apa bisa dilakukan sendiri. Termasuk pulang ke Jakarta. Bahkan bundanya tadi bilang, apa susahnya pulang sendiri? Tinggal naik taksi ke bandara terus naik pesawat daaaaaan sampai deh di Jakarta!

"Ras masih di hotel, pa. Nunggu taksinya kesini," tutur Farras. Matanya jengkel sekali melihat bundanya masih tak terpengaruh akan siapa yang meneleponnya sepaginya.

Sementara Fadlan menarik nafas. Tahu kalau masalahnya rumit sekarang. Istrinya tidak bisa diajak kompromi. Semakin dibiarkan malah semakin nekat. "Kasih hapenya ke bunda," titahnya seraya menutup pintu kamar. Ia malah sudah rapi dengan kaos santai.

"Bun, papa mau ngomong," suara Farras terdengar ditelinga Fadlan. Tangan gadis itu sudah mengulurkan ponsel tapi hanya dibalas dengusan oleh bundanya.

"Suruh ngomong sama tembok aja!" ucap istrinya yang membuat Fadlan menahan diri supaya gak naik darah. Ternyata, pesan kangennya kemaren sama sekali gak mempan. Istrinya itu bahkan tega mematikan ponsel agar tak menerima pesan lain dari Fadlan. Hal yang membuat Fadlan jengkel sekaligus gemas setengah mati.

"Tuh! Papa denger kan?" kali ini Farras yang mengomeli papanya yang gak percayaan sama dia dari kemarin. Kalau udah begini, mau gimana coba?

Fadlan menarik nafas dalam lantas menghembuskannya pelan-pelan. "Kakak keluar dulu, tinggalin hapenya di dekat bunda," titah Fadlan. "Jangan lupa loudspeaker-nya aktifin."

Farras segera mengiyakan lantas menaruh ponselnya di atas nakas sambil meringis. Kemudian ia keluar terbirit-birit dari kamar hotel. Meninggalkan bundanya yang diam-diam menahan nafas. Icha tahu, kalau sudah begini, suaminya itu sudah marah. Diam-diam ia menyesal karena membuat lelaki itu marah. Tapi siapa coba yang mulai duluan?

"Rissa," suara itu menggema di kamar hotel. Icha makin meringis mendengarnya. Kalau panggilannya udah gak manis begini udah pasti marah pakek banget. "Pulang sekarang atau aku yang kesana!" lanjutnya lantas memejamkan mata sesaat. Fadlan menahan nada suaranya supaya gak berteriak. "Aku tunggu di rumah," ucapnya dengan nada dingin sebelum menutup teleponnya begitu saja.

Icha sukses menahan nafasnya selama suaminya itu bicara. Lantas segera membereskan alat-alat make up-nya. Kemudian beranjak dari kursi menuju koper yang baju-bajunya terpaksa ia bereskan sekarang. Toh sebenarnya, kalau pun tak pulang hari ini, ia sudah berniat untuk pulang esok. Sekedar menggertak suaminya tapi sekarang malah ia yang ciut sendiri. Gak berani.

Sementara Fadlan memegang erat ujung meja makan. Lelaki itu baru saja meneguk air putih sebanyak-banyaknya. Ia tahu kalau ia memang salah. Pergi ke Bandung tanpa memberitahu istrinya ditambah pula dengan ponsel yang sengaja dimatikan agar istrinya tak menganggu. Tapi kini masalahnya malah menjadi rumit. Istrinya tetap istrinya. Sedewasa apapun fisiknya nyatanya jiwa kekanakan itu masih betah tinggal disana. Di dalam jiwa istrinya yang kadang membuatnya gemas sekaligus marah.

♡♡♡♡♡♡♡¤¤¤¤¤¤¤♡♡♡♡♡♡♡

"Kamu itu dewasa dikit dong, Kib! Mama ini kan di Solo sendiri. Sekali-kali minta ditemenin mantu sama cucu-cucu, mbok ya dikasih! Gak kasian kamu sama mama?!"

Akib memijit-mijit keningnya. Doni yang masih setia duduk di depannya sudah terbahak. Dari sejak siang sampai malam ini pun, pemandangan Akib dimarahi emaknya membuat Doni turut betah berada di ruangan ini.

Keluarga AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang