Rumah Tanpa Perempuan (2)

7.9K 931 76
                                    

"Kenapa, bun?" tanya Farras. Ia heran melihat kelakuan bundanya yang baru saja membanting ponsel di atas tempat tidur. Belum lagi tampang kesalnya yang mirip remaja tanggung dicuekin pacarnya.

"Papamu itu gak bisa dihubungi," tuturnya penuh emosi.

O-ow. Farras hanya bisa meringis. Ia berjalan mengendap-endap dari kamar mandi menuju tempat tidur sambil mengelap rambut basahnya dengan handuk.

"Giliran bunda yang matiin hape, marah-marah dia! Giliran dia?!" nada itu mulai naik.

Farras hanya mampu mengelus dadanya akan kelakuan orang tuanya yang terkadang kekanakan. Udah tua tapi kelakuan serasa masih ABG aja!

"Papa lagi operasi kali, bun."

"Barusan bunda tanya asistennya, dia gak datang ke rumah sakit hari ini."

"Abang? Ferril?"

"Gak ngangkat telepon bunda," keluhnya dengan lesu. Baru emosi sedikit saja, ia sudah capek. Bukan apa-apa, energinya pun sudah terkuras habis seharian ini. Ditambah pula dengan suami yang pergi entah kemana. Kerja kagak, hilang iya.

Sementara Farrel dan Ferril kompak bergidik lalu melempar hape masing-masing ke sofa. Takut saat melihat nama siapa yang muncul dilayar ponsel mereka. Hal yang kemudian membuat keduanya tertawa. Bukannya mau durhaka sih atau mau membela papa mereka, tapi mereka tidak mau dimarahi bunda karena dianggap tak bisa menahan kepergian papa mereka yang entah kemana. Bahkan sampai jam sepuluh malam ini, papa mereka belum pulang. Janji yang tertulis dikertas hanya tinggal janji. Karena kenyataannya, yang dicari-cari malah sedang asyik berenang dengan Fadli dan Regan. Tiga lelaki yang lupa diri kalau sudah jadi suami itu malah bersenang-senang sesaat. Melupakan sejenak rumah dan istri-istri mereka bahkan anak.

"Kita harus gimana nih, bang?" Ferril yang sudah tak tahu harus berbuat apa, bertanya pada abangnya yang sama-sama tidak bisa berpikir.

"Telepon Opa?"

Ferril menggeleng. Kalau begitu, bisa rumit masalahnya. Farrel menghela nafas. Mengerti apa alasan Ferril menggeleng. Meskipun sebenarnya, kalau mereka berani melapor pada Opa, masalah akan selesai karena keberadaan papa mereka pasti akan terlacak. Namun mereka memilih untuk diam saja dari pada menyulut masalah baru lagi karena Opa mereka pasti akan marah-marah.

"Jangan-jangan dugaan Ferril bener nih, bang!"

Farrel berdecak. Ia memalingkan muka lantas beranjak dari sofa. Gak mungkin! Ia masih menyangkal. Gak mungkin papa mereka dekat dengan perempuan lain. Tapi kalau bukan itu, lantas apa? Apa yang membuat papa mereka menghilang hari ini?

"Tapi, bang, kayaknya bener deh. Soalnya, papa udah gak lebay kayak dulu. Yang apa-apa, bunda gak boleh ini dan gak boleh itu. Perhatiin deh. Sekarang, bunda mau kemana aja, sejauh apapun tempatnya, dibolehin aja. Lah dulu?"

Farrel menarik nafas. Ya, bener sih. Ia juga merasa begitu. Bahkan kalau bunda mereka di rumah pun, papa mereka memilih untuk lembur di rumah sakit atau kalau pun pulang, tidur pulas sepanjang hari. Hal yang kadang membuat bunda mereka marah-marah sepanjang hari.

"Nganterin bunda kemana aja udah males. Malah Ferril mulu yang disuruh-suruh nemenin bunda. Abang juga kan? Suka disuruh-suruh sementara papa memilih tidur pulas di rumah."

Ferril masih menggebu. Bukannya mau menghasut sih. Tapi ia hanya menjabarkan analisanya selama beberapa bulan ini biar pun ia sendiri sibuk mempersiapkan UN dan kuliah. Sementara Farrel hanya bisa menghela nafas. Ia tidak menyangkal sih. Akhir-akhir ini, papa mereka memang banyak berubah. Entah kenapa, Farrel juga tak tahu apa penyebabnya.

"Papa lagi bosen kali," itu kata Farrel sebelum benar-benar beranjak dari sofa. Ia lebih memilih untuk menenangkan diri di kamar sambil membaca Al-Quran. Sementara Ferril hanya diam menahan emosi.

Keluarga AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang