-23-

55.5K 5.4K 437
                                    

Galih memarkirkan mobil milik mertuanya di halaman rumah yang selang setengah jam lalu ditinggalkannya bersama sang istri.

Mereka kembali pulang setelah bidan memeriksa keadaan Wening. Wening memang sudah mengalami tanda-tanda akan melahirkan namun sampai saat ini belum juga ada pembukaan pada jalan lahir, sehingga bidan menganjurkan untuk pulang lebih dahulu dan tetap memantau melalui pesan singkat. Wening dan Galih pun menyetujui karena mereka tidak ingin lama-lama di puskesmas, juga Wening merasa lebih nyaman dan bebas jika menunggu di rumah.

"Tiduran dulu, tak ambilin sarapan ya?" Wening menggeleng kepala menolak tawaran Galih, "Aku bisa sendiri Mas, lagian sambil jalan-jalan. Kata Bu bidan kudu banyak gerak kan." Jawab Wening lalu berjalan ke dapur.

Bu Nani yang baru selesai masak pun terkejut melihat anak dan menantunya kembali pulang. Niatnya tadi beliau ingin cepat-cepat masak, setelah itu beliau akan menyusul ke puskesmas membawa sarapan untuk Galih dan Wening. Namun, tak disangka Galih dan Wening kini malah kembali pulang. Galih pun menjawab pertanyaan ibunya sembari menyuapi Wening dengan telaten.

"Weteng e isih kenceng ora, Nduk? (Perutnya masih kencang nggak, Nduk?)" Bu Siti yang baru datang pun menghampiri Wening yang baru keluar kamar mandi setelah selesai sarapan, kini giliran Galih yang mandi bersiap untuk ke sekolah.

"Kumat-kumatan Bu, ini rasanya lagi kencang banget." Jawab Wening lalu duduk dan bersandar pada kursi dapur, lalu meringis mengelus perutnya yang kembali memberi rasa dahsyatnya gelombang cinta dari sang bayi.

Bu Nani yang tidak tega melihat menantunya kesakitan pun mendekat dan berjongkok di dekat Wening. Di elus perut sang menantu dengan lembut dan sayang, "Sing pinter ya Nduk opo Le, ora pareng rewel. Ndang metu ngono lho, ora usah gawe ibumu sakit. Ngko ditumbasno Mbah gelang karo kalung, ya? Sing pinter. (Yang pintar ya Nduk/le, nggak boleh rewel. Cepat keluar gitu lho. Nanti dibelikan Mbak gelang sama kalung, ya? Yang pintar)." Kata Bu Nani membuat Wening dan Bu Siti tersenyum, tanpa disadari rasa sakit yang dirasakan Wening tadi sedikit mereda setelah tangan Bu Nani beranjak dari perut Wening.

"Ikatan batinmu sama Mbah Nani kok kuat toh, Adik bayi. Bakalan jadi kesayangan Mbah ya? Makanya buru keluar ya? Biar bisa digendong sama Mbah Nani." Batin Wening dalam hati menyadari akan pergerakan anaknya di dalam.

Winda yang diberi kabar oleh Galih pun bergegas menjenguk Wening setelah menitipkan anak-anak pada rewang yang dibayarnya untuk mengurus rumah selama ditinggal Pak Yanto dan Bu Susi umroh. Dia khawatir akan keadaan sang adik, apa lagi saat ini Bu Susi tidak bisa mendampingi Wening saat lahiran.

"Mbak dulu berapa jam mbak, ngrasain kayak gini?" Tanya Wening yang kebetulan baru selesai sholat dzuhur dan menemui kakak perempuannya yang datang.

"Pas Dafa dulu aku ya lama Dik, hampir dua puluh empat jam. Karena aku nggak kuat dan kondisi udah nggak memungkinkan, akhirnya dibawa ke rumah sakit kan, sesar." Jawab Winda, hal ini justru membuat Wening was-was. Dia ingin melahirkan normal, tak ingin merepotkan orang-orang yang harus menjaganya sampai ke rumah sakit pasti akan lebih repot, namun dia tetap berdoa meminta yang terbaik untuknya dan anaknya.

"Nggak usah khawatir gitu, Dik. Emang wajar kok anak pertama itu pasti lama, dinikmati aja. Minum air putih yang cukup dan rileks, sabar pokoknya." Tambah Winda peka akan perubahan raut wajah Wening, mendengar perkataan sang kakak Wening menjadi teringat akan nasihat sang ibu pagi tadi di telepon, Bu Susi juga mengingatkan hal yang sama padanya.

"Aku keingat Ibu mbak, disaat kayak gini malah nggak bisa nemenin aku." Kata Wening mulai sesenggukan di rangkulan Winda, paham akan situasi tersebut Winda pun memberikan pelukan pada sang adik dia paham akan perasaan Wening, karena saat melahirkan Dafa dulu dia juga tidak ditemani Bu Susi yang saat itu juga sedang dirawat di rumah sakit, karena penyakit jantung beliau kambuh.

Hati WeningOnde as histórias ganham vida. Descobre agora