-32-

44.7K 5.7K 554
                                    

Cuaca hari ini sangat tidak bersahabat. Bahkan sejak subuh sampai menjelang petang  matahari masih malu untuk menampilkan sinarnya, tertutup awan hitam masih menyelimuti langit.

Tubuh Galih menggigil sesampainya di rumah. Dia lupa tak membawa jas hujan, sehingga dengan nekat dia menerobos hujan dan berakhirlah kini meringkuk di ranjang dengan berbalut selimut tebal.

Untung saja hari ini Wening sedang izin tidak masuk kerja, lantaran harus mengantar Syifa ke posyandu. Bu Nani sendiri juga sedang tidak sehat, beberapa hari ini tensinya tinggi dan diminta Galih untuk istirahat dulu. Selama ditinggal Wening kerja Syifa dititipkan pada Bu Siti yang memang tidak memiliki kesibukan apa-apa. Beruntungnya Syifa sudah terbiasa dengan Mbah Siti, sehingga anak itu tetap merasa nyaman dengan simbahnya.

"Ini jahe hangatnya diminum dulu." Wening mengulurkan segelas jahe hangat pada suaminya yang masih menggigil, kalau melihat wajah pucat Galih dia pun kasihan. Sebelumnya Galih sendiri juga sudah mengeluh tidak enak badan pagi tadi, ditambah kehujanan hari ini Wening pun memberikan obat sekalian untuk sang suami.

"Syifa mana?"

"Diajakin Mbak Ana tadi, Vina kan hari ini ulang tahun. Mau tiup lilin bareng-bareng." Jawab Wening sebelum ikut merebahkan diri di samping Galih. Tak menyia-nyiakan kesempatan juga Galih pun menenggelamkan dirinya di pelukan Wening, berharap mendapat kehangatan.

"Lha ibu tadi gimana? Udah enakan belum?"

"Ibu tidur, tadi siang sih katanya udah nggak pusing lagi. Habis tak beliin timun tadi, semoga aja udah normal darahnya." Jawab Wening dengan lembut tangannya mengelus rambut Galih yang masih setengah basah, Galih pun dengan modus semakin mengeratkan pelukan mereka, juga wajahnya yang kini berada tepat di dada Wening.

"Syukurlah, baru kali ini ibu darah tinggi. Biasanya nggak pernah lho."

"Faktor usia juga Mas, tapi aku rasa ibu kayaknya lagi kepikiran sesuatu deh. Nggak tau sih, ini cuma perasaanku aja apa gimana, akhir-akhir ini ibu sering diam dan nggak banyak respon seperti biasanya." Wening menyampaikan uneg-unegnya, beberapa hari ini dia kerap mendapati Bu Nani melamun dan bersedih namun dia tidak berani untuk bertanya langsung pada mertuanya itu.

"Ya nanti, tak coba bicara sama ibu." Jawab Galih dengan lirih, suasana kembali hening. Galih menikmati waktu bersama sang istri, jarang-jarang mereka bisa pacaran setelah adanya Syifa di tengah-tengah mereka. Beruntung Syifa anaknya gampangan mau diajak orang, seperti sekarang buktinya belum ada tanda-tanda diantar pulang oleh mbak iparnya.

"Mas, aku mau cerita."

"Hmm, cerita apa?"

"Dengerin ya tapi, jangan salah paham."

"Kenapa?" Galih merenggangkan pelukan mereka, sehingga memberi celah diantara mereka. Hanya sedikit, bahkan tidak ada sejengkal.

"Mas Galih tau kan kalau saham bapak di koperasi hampir lima puluh persen?" Galih mengangguk karena Wening sering bercerita tentang keseharian istrinya, kurang lebih tentang pekerjaan sang istri. Juga mengingat pesangon milik mertuanya juga sebagian ditaruh di koperasi, agar bisa mendapat bunga setiap bulannya.

"Tadi waktu habis dari posyandu aku mampir ke rumah bapak, terus tiba-tiba bapak ngajak ngobrol aku masalah rumah, toko, tabungan, dan sawahnya ibu yang sekarang masih digarap sama pak lik. Nah, aku dikasih pilihan bapak minta bagian yang mana, kalau mbak Winda sudah pasti rumah dan toko. Karena emang sejak dulu, ibu melarang mbak Winda buat ikut mertua atau pun punya rumah sendiri. Jadi sudah pasti rumah dan toko jadi milik mbak Winda."

Galih mendengarkan cerita istrinya dengan seksama, walaupun sebenarnya dia sudah menebak arah pembicaraan ini.

"Aku nggak tau sih kenapa bapak tiba-tiba ngajak ngomong serius gini, padahal sebelumnya aku nggak pernah kepikiran masalah ginian. Nah, bapak kasih aku pilihan mau sawah yang masih digarap pak lik atau saham milik bapak yang ada di koperasi."

Hati WeningWhere stories live. Discover now