-38-

52K 5.9K 390
                                    

"Syifa mau bobok sama Mbah Nani apa sama Bunda?" Tanya Wening pada putrinya yang sudah berusia empat tahun.

Sudah hampir lima tahun Wening dan Galih mengarungi kehidupan rumah tangga. Tentu semua itu tidaklah berjalan dengan mulus. Perbedaan pendapat dan pandangan sering kali terjadi, namun seiring berjalannya waktu mereka tetap bisa saling mengimbangi.

"Hayo, mau bobok sama mbah apa Bunda? Katanya tadi mau minta dipijat mbah?" Ujar Mbah Nani, beliau berharap sekali Syifa mau tidur bersamanya. Karena sejauh ini Syifa tidak mau tidur dengan siapapun kecuali dengan bundanya.

"Bobo cama mbah beco aja." Jawab Syifa menunduk malu dan bergelayut manja di pelukan bundanya.

"Halah dari kemarin kok besok-besok terus."

"Beco embah... Cipa bobo cama mbah." Kata Syifa dengan nada mendayu-dayu.

Wening yang memperhatikan interaksi Syifa dengan Bu Nani pun tertawa. Putrinya sangat dekat dengan mertuanya namun tidak pernah mau jika diajak tidur bersama.

"Besok-besok terus sampai habis besoknya." Bu Nani menggerutu justru dibalas tawa oleh Syifa.

"Ya udah, ayo bobok, udah jam delapan." Ajak Wening pada Syifa.

"Anti dulu Unda, Cipa beyum ngantuk."

"Ya udah bunda tinggal bobok di kamar ya? Nanti Syifa nyusul." Ujar Wening meninggalkan putrinya dengan Bu Nani.

Badan Wening akhir-akhir ini sering capek dan mudah mengantuk. Awalnya tidak dirasa oleh Wening, namun karena timbul kecurigaan akhirnya Wening putuskan untuk cek testpack. Seperti dugaannya, benar kalau dia sedang mengandung anak kedua.

Kehamilan yang memasuki minggu enam ini masih terlalu muda untuk diberitahukan pada keluarganya yang lain. Wening dan Galih sengaja merahasiakan kabar ini terlebih dahulu, terutama Bu Nani yang sebenarnya sudah timbul curiga akan gelagat Wening belakang ini.

"Pengin nasi goreng." Gumam Wening  dengan menelan ludah, membayangkan nikmatnya nasi goreng hangat ada di hadapannya.

Diambil ponselnya yang ada di meja kamar, namun harapannya pupus kala melihat ponsel Galih ada di sebelah ponselnya.

"Ck, udah main nggak bawa hp lagi."

Wening pun membuka ponsel Galih dan melihat riwayat pesan sang suami. Ternyata suaminya sudah janjian dengan Wisnu, si Mas Kades, nongkrong bersama. Wening pun memutuskan untuk mengirim pesan pada Wisnu, menanyakan keberadaan Galih melalui ponsel Galih.

Tak lama ada telepon masuk, nama kontak Kades Wisnu memanggil.

"Hallo, assalamualaikum.."

"Wa'alaikumsallam, ada apa Bun?"

Ternyata suara Galih yang menyapa.

"Lagi dimana? Masih lama nggak?"

"Warung Bu Siti. Kenapa?"

"Aku lapar, Mas. Beliin nasi goreng." Pinta Wening dengan manja.

"Sekarang?"

"Tahun depan. Ya sekarang toh, Mas. Mau anakmu kelaparan? Pokoknya nasi goreng yang di perempatan itu ya? Aku nggak mau yang lainnya." Kata Wening dengan tegas, Galih yang mendengar pun menghela nafas berat, berusaha memaklumi hormon ibu hamil.

"Iya-iya, tak belikan dulu."

Telepon pun terputus dan Wening tersenyum lega. Dia paham taktik suaminya yang masih doyan kumpul dengan teman-temannya. Galih sengaja meninggalkan ponselnya di rumah agar tidak ditelepon oleh Syifa,  yang disuruh sang bunda sebenarnya. Anak perempuan Galih itu sudah bisa mengomeli ayahnya yang sering nongkrong di warung dibandingkan berkumpul di rumah. Namun, Wening masih punya segala banyak cara untuk merecoki suaminya yang kadang suka lupa jam pulang.

Hati WeningWhere stories live. Discover now