2. Tawaran Menggiurkan

3.5K 236 2
                                    

"Aku tidak berkata seperti itu." jawabnya tenang, mata elangnya begitu mempesona dengan alis tebal dan hidung mancung. Belum lagi bibir tebal merah itu. Ah... Livina merasa dia membasahi celana dalamnya.

"Tetapi tawa anda melecehkan saya!" Livina mengumpulkan kekuatannya untuk protes. "Apa dosa menjadi seorang janda? Aku tidak pernah memintanya!"

Pria itu lagi-lagi tersenyum, "Apa dia menyentuhmu? Menikmati tubuhmu?"

"A... apa?"

"Mantan suamimu. Aku rasa tidak. Kamu terlihat kaku dan tidak terbiasa dikelilingi pria."

PLAAK!

Tanpa sadar, Livina menampar wajah calon bosnya itu keras. Livina menatap tangannya tak percaya. Apa yang sudah dilakukannya? Tamatlah sudah. Tubuhnya bergetar, Livina berbalik akan pergi ketika tangan besar nan maskulin itu memeluk tubuhnya erat. "Lepaskan!' Livina memberontak.

"Berani sekali..." desisnya.

"Kamu memulainya duluan. Ini salahmu!" Livina berusaha mengurai pelukannya.

"Kamu tak ingin pekerjaan ini?"

Livina terhenti dan menatap tak percaya. "Aku masih bisa memiliki pekerjaan ini?"

"Ya. Hanya..."

"Hanya?"

"Menikahlah denganku."

Livina menatap pria itu dengan tatapan bingung. Dirinya yang salah dengar atau pria tampan ini yang sudah gila? "Me... menikah?"

"Ya, menikah." Ulangnya lagi. Pria itu mendekatkan wajahnya sehingga wangi napasnya menyapu lembut pipi Livina.

"Anda sudah keterlaluan!" dengan keseluruhan kekuatannya Livina mendorong tubuh pria itu.

"Jack."

"Uh?"

"Jack Pratama, itu namaku bukan 'anda'."

Livina menelan ludah keras. "A... aku hanya ingin bekerja dengan damai di sini jika anda memperbolehkannya."

"Tawaranku jauh lebih menggiurkan."

"Anda memandangku rendah karena aku seorang janda begitu?" Livina mengepalkan kedua tangannya kuat. Wajahnya memerah antara malu dan gusar.

Jack menatap Livina dengan tanda tanya. Wanita di hadapannya ini cantik dan menawan, hanya saja karena dia tidak memiliki waktu merawat diri, rambut dan bagian lain tubuhnya terlihat berantakan dan kotor. "Kenapa kamu berpikir seperti itu?"

"Semua pria sama saja!" Livina menatap tajam Jack. "Anda memiliki segalanya, lalu mempermainkan hidup seseorang seperti mereka tidak memiliki perasaan."

Jack menghela napas panjang. "Tapi kamu membutuhkan uang." Livina tertegun, udara seakan tercekat di antara tenggorokannya. Benar. Dirinya sangat membutuhkan uang. Jack masih mengamati reaksi Livina dan memilih menekan tombol interkom.

"Ya, Tuan?"

"Siapkan satu cangkir kopi dan cokelat panas." Perintah Jack dan berjalan menuju sofa yang tak jauh dari meja mahoganinya. "Duduklah." Pinta Jack.

Livina menatap ragu dan pada akhirnya mengikut dengan patuh. Tak lama minuman itu terhidang di hadapan mereka masing-masing. Jack berusaha membuat Livina terlihat nyaman. Entah mengapa dia memutuskan memikirkan ide gila ini.

Jack mengusap wajahnya lelah. Jika saja ibunya tidak terus-terusan mendesaknya untuk menikah, mungkin dia tidak akan sefrustasi ini. Livina menatap Jack dengan rasa ingin tahu. Livina tahu benar sosok seperti Jack akan dengan mudah memperoleh banyak wanita sesuai dengan keinginannya.

"Mengapa anda memilih aku?" tanya Livina pada akhirnya, Livina meninggalkan formalitasnya. Tangannya meraih cokelat panas itu, dia cukup terkejut dengan sisi Jack yang menyajikan minuman ini.

Jack mengangkat bahunya tanpa alasan. "Kamu yatim piatu."

"Maksud anda?"

"Setidaknya kamu berdiri sendiri dengan mandiri."

Livina masih mencerna perkataan Jack, "ah... anda tidak ingin keluarga mempelai wanita anda ikut campur?"

"Ya." jawab Jack singkat. Livina menatap dirinya masih dengan tanda tanya besar.

"Aku rasa, aku bukanlah kandidat yang baik."

"Oh?" Jack balik bertanya.

"Aku akan mempermalukanmu. Kamu kaya raya dan aku hanya rakyat jelata."

"Kamu hanya perlu polesan sedikit."

"Kamu bisa memolesku dari luar, tetapi tidak dengan kepribadianku." Tegas Livina.

Jack terkejut dan mengamati ekspresi Livina. Baru kali ini ada wanita yang berani beradu argumen dengannya. "Lalu?"

Livina menunduk memainkan jarinya. "Aku hanya ingin bekerja dengan tenang."

Akhirnya Jack menyetujui itu. "Kepala pelayanku akan memberitahumu detailnya. Sekarang kamu bisa pergi." Jack bangkit dan kembali bekerja di depan laptopnya.

"Uhm... mengenai perlakuanku tadi... aku meminta maaf sudah menamparmu. Aku sungguh sangat menyesal." Setelah mengatakan itu Livina berlalu meninggalkan Jack yang menatap punggungnya intens.

Livina berjalan keluar dan bertemu Oman, kepala pelayan manison Jack. Oman menunjukkan kamar tidurnya dan memintanya untuk datang besok pagi-pagi buta untuk memulai bekerja. Livina juga diharapkan tepat waktu. Sepanjang malam itu Livina tidak dapat tidur. Pikirannya melayang dengan tawaran menggiurkan Jack.

Tetapi traumanya terhadap pria belum juga reda. Jika membayangkan itu, dia sangat ingin mencabik-cabik foto Axel. Tetapi pikiran nakalnya yang lain tidak bisa berhenti berfantasi tentang tubuh dan perlakuan maskulin Jack. Harus diakuinya, Jack merupakan sosok pria yang memiliki pesona luar biasa.

Livina menghela napas panjang dan meraih pil tidurnya. Jika dia terus seperti ini, dia akan terlambat untuk bekerja besok.

Esok harinya, Livina mulai bekerja dengan arahan Oman. Mansion ini memiliki 10 pelayan, 3 chef, 4 penjaga keamanan dan 2 tukang kebun. Hanya dua pelayan yang tinggal di mansion itu terhitung hari ini yaitu Livina dan Arta. Usia Arta terpaut 5 tahun darinya yaitu 26 tahun. Arta juga berstatus janda sama seperti Livina.

Saat sarapan, Livina akan membantu menyusun piring dan makanan yang terhidang. Livina dan Arta berdiri tak jauh dari Jack kalau-kalau pria itu membutuhkan tambahan sesuatu. Semenjak malam itu, sikap Jack menjadi berubah.

Livina menyadari statusnya dan memilih bersikap professional. Awalnya dia merasa sedikit kecewa dengan sikap dingin Jack namun dia perlahan mengerti bahwa itulah sifat asli Jack. Lagipula dia bukanlah siapa-siapa. Sudah beruntung Jack ingin mempekerjakannya.

Setiap hari Minggu Livina akan menyempatkan waktu untuk pulang dan membersihkan rumahnya. Livina mengerti dengan jadwal pekerjaan Jack. Pria itu jarang berada di mansion karena kesibukannya. Adapun jika dia memiliki waktu, dia baru akan pulang mendekati malam. Livina merasa pekerjaannya tidaklah sulit. Pada hari liburpun tak jarang dirinya mengajak Maya untuk bertemu.

"Hey, Liv." Arta menepuk pundaknya tiba-tiba.

"Eh, hai." Livina menutup handphonenya dan berhadapan dengan Arta.

"Kamu sedang apa?" Arta mengambil duduk di hadapan Livina.

"Hanya membaca berita." Livina menyelipkan kembali handphonenya kedalam kantung.

"Oh gitu. Bagaimana perasaanmu sejauh ini bekerja di sini?"

"Tidak terasa, sudah lebih dua bulan." Jawab Livina dengan senyuman.

"Kamu melakukannya dengan baik."

"Tuan memang selalu seperti itu? Jarang di mansion?"

"Ya, beliau sangat sibuk. Apa kamu ingin menemuinya?"

"Ah, tidak. Aku hanya jarang melihatnya."

Arta tersenyum lebar. "Tuan kita sangat tampan bukan?"

Livina tertawa renyah. "Well... no debat."

His Innocent Widow (21+)Where stories live. Discover now