3. Rendah Diri

3K 240 10
                                    

"Kamu tahu tidak kalau dulu Nyonya besar selalu datang mengamuk setiap weekend?"

"Uh? Kenapa?"

"Beliau tidak ingin menikah."

"Secara tidak langsung aku juga bisa mengerti posisi orangtua Tuan kita. Mereka ingin menimang cucu apalagi Tuan adalah orang mapan dan sukses." terang Livina mencoba memberi alasan logis.

"Padahal Tuan memiliki banyak wanita simpanan, kenapa dia tidak menikahi salah satu dari mereka saja? Perkaranya menjadi lebih mudah."

"A... apa? Wanita simpanan?"

"Ups!" Arta menutup mulutnya cepat. "Aku terlalu ember sepertinya. Oman selalu memarahiku membicarakan kehidupan cinta Tuan."

Livina terhentak, lalu penawaran itu apa artinya? Livina berpikir Jack sulit bergaul dengan wanita sehingga harus membutuhkan bantuannya. Sepertinya dirinya terlalu naif dan percaya diri. Livina menghela napas panjang. Hatinya kembali kecewa. Satu bulan kemarin dia berhasil melupakan itu tetapi kini kekecewaannya tumbuh lagi. Wait? Bukannya dia memang tidak ingin berhubungan dengan Jack.

"Kamu terlihat sedih. Terjadi sesuatu?"

"Arta..."

"Ya?"

"Jika seorang pria dengan status luar biasa memintamu menikahinya, apa reaksimu?"

"Aku akan menerimanya!"

"Begitu?"

"Tentu saja! Kita ini wanita-wanita dengan strata terendah. Menurutmu pria macam apa yang menginginkan kita? Aku hanya mencoba realistis. Ujung-ujung paling kita mendapat pria dengan kedudukan yang sama. Pria yang hebat dengan status tinggi juga membutuhkan wanita dengan status yang sama. Mereka saling tarik menarik bagai magnet." Terang Arta.

"Jadi jika pria itu memintamu menikahinya? Apa maksudnya?"

Arta berpikir sejenak dan menatap Livina dari ujung kaki hingga ujung rambut. "Seks?"

Livina tertawa sedih. Perih dihatinya berusaha diabaikan. Seks? Hanya itukah sesuatu yang dilihat pria-pria di dunia ini darinya?

Sejak percakapan itu Livina menutup diri. Memang benar dia sudah berulang kali tersakiti, tetapi kali ini harapannya terlalu tinggi dan tidak nyata. Jack memang pernah menawarinya, tetapi itu hanya seperti bermimpi disiang bolong. Pria seperti Jack tidak akan memperlakukannya berharga.

Livina terduduk di depan jendela kamarnya. Mansion ini dibangun sangat indah termasuk kamar pelayan yang diterimanya. Livina menatap langit senja yang mulai menguning. Awalnya dia menolak mentah-mentah tawaran Jack karena berpikir menjadi orang biasa-biasa saja sudah cukup.

Namun berjalannya waktu, dia mulai merasa melayang dengan respon baik Jack meski mereka jarang bertemu. Jika dipikir-pikir kembali Jack memperlakukannya sama dengan pelayan yang lain. Pada dasarnya pria itu dijuluki manusia es karena sikap cuek dan angkuhnya.

Apa dirinya terlalu kegeeran? Toh sejak malam itu Jack bahkan tidak pernah menatap kearahnya lagi. Livina tertawa nyaring, melampiaskan malu dan rasa tidak nyamannya. Sungguh memalukan. Livina mengusap wajahnya keras. Dirinya bahkan membenturkan kepalanya pelan kearah pinggir jendela.

"Bodoh... memalukan... menyedihkan..." lirih Livina. Malam yang dingin itu berlalu dengan perenungan panjang penuh dengan pergulatan batin.

Semenjak hari itu Livina seperti kembali pada akal sehatnya. Dirinya tidak lagi memandang Jack diam-diam sambil menyimpan harapan, dia lebih bisa bersikap professional. Bentuk dari aksinya dengan memilih berlalu pergi dan bergantian dengan pelayan yang lain saat menghidangkan makanan untuk Jack.

Baginya mencuci piring, membuang sampah atau bahkan sekedar membersihkan got atau gorong-gorong lebih baik daripada dia harus berhadapan dengan Jack. Livina takut kecewanya justru membuat dirinya yang bukan siapa-siapa hancur berkeping-keping.

Jack sedang mengerjakan beberapa berkasnya ketika Oman menghampirinya. "Tuan memanggil saya?"

"Ya."

"Ada yang ingin anda diskusikan?"

"Aku tidak melihat Livina akhir-akhir ini."

"Livina?"

"Ya, biasanya dia yang selalu menghidangkan makanan sejak pertama dia bekerja."

"Sudah dua minggu ini dia bekerja di belakang bersama pelayan yang lain."

"Kamu yang menukarnya?"

"Tidak, beliau yang memintanya."

Jack mengerutkan kening bingung. "Apa yang dikerjakannya di belakang?"

"Mencuci piring, membuang sampah, membersihkan gorong-gorong atau got dan bahkan pembuangan sampah."

Wajah Jack memerah saat mendengar itu. "Gorong-gorong katamu?"

"Y... ya Tuan." Oman terkejut dengan respon Jack.

"Aku sudah mempekerjakan orang lain untuk itu kenapa Livina yang mengerjakannya?!" suara Jack sedikit meninggi.

"Terkadang pelayan kita juga melakukannya, Tuan."

"Tukar kembali posisinya. Aku tidak ingin Livina mengerjakan pekerjaan kotor itu."

"Beliau bersikeras tidak ingin mengganti posisinya."

Jack mengepalkan tangannya seketika. "Panggil Livina!"

"Baik." Oman berlalu pergi meninggalkan Jack yang gusar. Jack meneguk air mineralnya. Kenapa dia harus semarah ini?

Tak menunggu lama Livina berdiri di hadapannya. Jack memperhatikan ujung kaki hingga ujung rambut wanita di depannya itu. Livina yang sekarang jauh lebih kurus dan terlihat menjaga jarak. "Apa kabar?" tanya Jack berusaha membangun komunikasi.

"Baik, Tuan." Livina menjawab dengan singkat, ekspresinya terlihat datar.

"Kamu menyukai pekerjaanmu?"

"Ya, Tuan." Lagi-lagi Livina hanya menjawab singkat.

"Kamu suka di sini?"

"Saya membutuhkan uang." Livina tidak menjawab pertanyaan Jack tetapi dia memilih mengeluarkan pernyataan yang lain. Dari sudut pandang Jack, Livina semakin sopan. Dulunya dia terlihat tegas tidak seperti ini. Jack bisa merasakan jarak yang semakin jauh.

"Bukan itu yang kutanyakan." Komentar Jack. Livina tidak menjawab.

"Apa salah satu pengawaiku membuatmu tidak nyaman?"

"Tidak ada."

"Lalu?"

Livina mengangkat wajahnya dan menatap bingung Jack. "Saya tidak mengerti."

Jack menghela napas panjang. "Aku sudah mendengarnya dari Oman, kamu bisa kembali ketugasmu yang seperti biasa. Kamu tidak perlu berkubang dengan kotoran itu setiap hari."

"Saya menolaknya."

"Apa?" Jack bangkit, dia jelas merasakan ada yang salah. Livina terhentak dalam sikap siaga. Matanya melirik kearah pintu keluar dan Jack mengetahuinya. "Kamu suka berkubang dengan kotoran?"

"Itu bagian dari pekerjaan saya. Apa pekerjaan saya kurang memuaskan?"

Jack tak bisa menjawab. Menurut laporan Oman, keadaan sekitar mansionnya jauh lebih bersih berkat kerja keras Livina. Tetapi kenapa dia justru kecewa? Jack melihat kearah jemari Livina yang kasar dan memiliki banyak luka baret kecil. Luka itu pasti diperolehnya dari pekerjaan kasar yang dilakukannya.

"Kenapa?"

"Uh?" Livina menatap Jack bingung.

"Kenapa kamu menyiksa dirimu seperti ini?"

"Saya tidak mengerti alur pembicaraan anda, Tuan." keduanya diam tanpa ingin memulai percakapan yang lain. Livina menunggu tetapi Jack tak kunjung berbicara. "Jika tidak ada yang ingin anda bicarakan lagi, saya mohon diri." Livina membungkuk hormat dan berlalu pergi. Tangan Jack sudah ingin meraih lengan kanan Livina namun terlambat. Jack mematung menatap tangannya dengan perasaan yang semakin tidak nyaman.


Bagaimana menurut kalian sejauh ini? ^ ^ Hoho

His Innocent Widow (21+)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt