26

988 87 1
                                    

"Untuk apa sih, kamu ngelakuin ini semua...?" Kak Benny tiba-tiba memelukku dari belakang.

"Kak Ben ---" kulepaskan pelukkannya. Aku tahu dia sudah sangat ngantuk dan kelelahan. "Terima kasih ya ---" aku sedikit berjinjit, lalu kucium bibirnya.

"Balik sekarang?"

"Masih bisa bawa mobil kan?"

"Bisa. Emang kenapa?"

Kali ini aku cium lagi bibirnya. Namun bukan ciuman biasa. Melainkan sebuah lumatan bibir yang panas dan intens. Maksudnya adalah supaya Kak Benny menjadi segar dan gak ngantuk lagi.

Tapi nyatanya, dia malah kelepasan sampai-sampai melepas sweater dan celana jeansnya..!

"Menurut aku Adnan gak mungkin disembunyiin di rumah Kak Idam."

"Berarti emang bukan mereka." Kak Benny noleh sekilas. "Itu sih emang dianya yang kabur. Atau --- bisa jadi dia lagi jual diri."

Adnan memang cakep dan putih. Tapi, dari segi postur tubuh, jauh lebih atletis dan menarik Kak Benny. Bahkan kalau aku bandingin sama Dria, Adnan itu gak ada apa-apanya. Dia cuma menang di ekspresi wajahnya yang dingin tapi cool itu.

"Kalo semua urusan udah beres, kamu mau terima aku jadi pacar?"

"Jalan Kak Benny kan masih panjang."

"Justru karena masih panjang, aku butuh seseorang buat nemenin aku sampai tujuan.."

Aku menghela. "Tapi, Kak Ben kan tahu kalau aku udah pernah berhubungan sama cowok lain."

"Aku tau, kok. Selama itu beralasan. Dan yang pasti --- bukan atas dasar suka sama suka."

Jam 01.25 aku baru sampai kembali di apartemen. Kukira Om Pram dan Om Rico sudah tidur. Tapi ternyata mereka masih menonton di ruang tengah.

"Kalian kok bisa pulang bareng?" tanya Om Pram.

"Tadi, aku yang minta jemput, om." jawabku kikuk.

Om Rico bangkit lalu mendekati kami. Dia mengendus kami berdua dengan tatapan curiga. Lalu dia kembali duduk di sebelah Om Pram sambil menggeleng sekali.

"Kalian belum mengantuk kan?" tanya Om Rico.

Kak Benny merangkulku. "Aku sih belom, om. Tapi Juan --- di mobil aja, tadi dia udah ketiduran."

"Juan ---" Om Pram memanggilku.

Aku mendekat padanya. Lalu kami berdua menuju kamarku, dengan suasana yang canggung sekali.

"Benny, kita ke kamarmu."

Aku menoleh sekilas. Kulihat Om Rico dan Kak Benny yang lagi berjalan bersama menuju lantai dua.

"Adnan belum pulang ya, om?"

Om Pram menatapku aneh sekali. "Katakan saja kalau kamu ada masalah." suara Om Pram terdengar agak bergetar.

Aku menggeleng pelan. "Gak ada masalah kok, om."

"Juan ---" kurasakan tatapan Om Pram yang begitu dalam. "Boleh, om memelukmu?"

Aku belum mengangguk. Tapi akulah yang duluan memeluknya.

"Aku minta maaf om, kalau gara-gara aku Adnan jadi pergi."

"Adnan pergi bukan karenamu..." Om Pram melepaskan pelukkanku. "Juan, Adnan dan Junior itu --- bukanlah anak kandung Om Rico."

"Bukan anak kandung ---" pikiranku masih mengawang-awang. Mataku sudah lengket dan berat sekali.

Om Pram mencium kepalaku. "Sekarang kamu istirahat aja. Besok, kita sambung lagi pembicaraan ini."

Begitu Om Pram keluar dari kamarku, aku langsung naik ke atas kasurku --- memeluk gulingku --- dan memejamkan mata...

Like Father Like SonWo Geschichten leben. Entdecke jetzt