35

934 80 3
                                    

Dua minggu berlalu sudah. Siswa kelas dua belas pun, kini memasuki minggu tenang. Setelah melewati ujian demi ujian di sekolah, sekarang mereka hanya tinggal menunggu hasilnya. Dengan segala kerja keras, usaha, dan juga doa --- hasil terbaiklah yang mereka semua inginkan.

Berkat usahaku dan juga Idam, akhirnya kami berdua berhasil atau lebih tepatnya memaksa Adnan agar berpacaran dengan Dria.

Namun masalah yang kini timbul adalah, Adnan masih belum bisa menguasai perannya.

Padahal dia sudah diajarkan mati-matian oleh Kak Benny, bahkan apap dan apip pun sampai turun tangan untuk membantunya.

Aku sempat putus asa hingga sampai di titik terakhir. Mengingat waktu yang tersisa tidaklah banyak. Namun, aku mendapat sebuah kejutan yang membuat perasaanku meledak-ledak gak karuan.

"Gue udah tidur sama dia --" Adnan mengatakan itu saat aku sudah hampir tertidur.

Atas permintaan dariku, Adnan dan Kak Benny akhirnya kembali lagi ke apartemen. Namun, apap dan apip memasang sebuah peraturan tegas yang tak boleh dilanggar siapapun disini.

Tiap malam, kamar Kak Benny selalu dikunci dari luar. Dan kuncinya itu dipegang langsung oleh apap dan apip. Tujuannya adalah supaya Kak Benny tidak mengendap-endap ke kamarku lagi.

Tapi tidak dengan kamar Adnan. Apap dan apip, tidak mengunci kamar Adnan karena mereka tahu, Adnan sudah punya pacar. Dan kami, tidak memiliki hasrat atau rasa satu sama lain.

"Apa papinya mereka menunjukkan gerak-gerik mencurigakan?" Tanyaku.

Adnan geleng. "Kayaknya dia gak ada rasa sama aku."

"Hmmm --" aku berfikir sejenak.

"Terus, sampai kapan gue harus kayak gini?"

"Sampai pengangkatan ketua OSIS yang baru."

"Eeerrnngg, lo gak bakal ngasih tau Iky kan?"

"Enggak. Kamu tenang aja ya..."

Adnan memegang tengkuknya. "Gue gak mau ngecewain dia. Gue takut kalo dia bakalan nangis.."

Aku pegang tangan Adnan. "Iky bukan tipe cowok yang lemah dan cengeng. Meski dari luar dia kelihatan sangat pendiam, tapi -- kamu sama dia belum pernah kan?"

"Belomlah!" Adnan menarik tangannya. Wajahnya kelihatan merah dan kikuk.

"Adnan, apa kamu udah bisa maafin kakek?"

"Sampai gue mati, gue gak akan pernah maafin si tua bangka itu!"

"Makasih ya, karena kamu masih tetap menjaga rahasia ini."

"Tapi gue gak yakin, kalo rahasia ini bakalan tetep aman."

"Senggaknya jangan sampai Kak Benny tahu, kalau kakek kalian sendirilah yang sudah merencanakan kecelakaan itu."

Terdengar suara langkah kaki di luar. Adnan mengambil beberapa buku catatanku, untuk dijadikannya alibi.

"Lagi diskusi apa nih?" Benar saja, apip muncul sambil membawa segelas air putih.

"Pinjem catetan doang, om --" Adnan nyengir. "Gue balik dulu. Besok gue balikkin."

"Adnan ---" apip menghela. Tangannya menjulur mengapit pipi Adnan. Apip menyuruh Adnan untuk membuka mulut, lalu memeriksa gigi dan mengendus nafasnya. "Kebiasaan kan --"

"Hhheee, ini juga mau sikat gigi."

"Jangan dibiasakan. Kalau udah sakit, baru tahu rasa kamu."

"Iyaaa, om."

"Apip."

"Om aja ---"

"Kalau kamu masih mau tinggal disini, itu artinya kamu harus menuruti semua perintah apip dan apap!"

"Beres, bos...!"

"Astaga, anak itu ---"

Apip menatapku sejenak. Lalu ia masuk, meletakkan gelasnya di meja belajarku, dan ikut naik ke atas kasur.

"Kenapa semuanya harus kayak gini ya ---" apip memegang tanganku. "Apip benar-benar kasihan dengan mereka."

"Terutama Junior ya, pip."

"Junior ---" apip menengadah. Sebulir air matanya jatuh. "Bagaimana dia sekarang...?"

"Datangi saja rumah kakek, pip. Bagaimanapun juga, mereka itu masih orang tua apip juga kan...?"

"Gak semudah itu, Juan." Apip menghapus air matanya. "Satu-satunya orang yang bisa nerima kekurangan apip, cuma kakak apip --- ibu mereka itu..."

"Apip sayang sama Junior?"

"Tentu saja, Juan. Kalau tidak sayang, untuk apa apip dan apap merawatnya sejak orang tua mereka meninggal?"

"Kalau begitu, rebut dan bawa kembali Junior kesini."

"Juan ---"

"Bagi Junior, apip dan apap adalah orang tuanya. Susah, senang, bahagia, rasa sedih, sudah kalian lewati bersama-sama."

"Apip mau apap temani?" Apap mendadak muncul di pintu kamarku.

"Apap..."

"Kita selalu menyelesaikan semua masalah berdua. Masa iya, kali ini aku gak mau membantu..? Apalagi, ini menyangkut Junior..."

"Apap mau apa...?!" Aku memekik.

"Mau ikutan tidur disini, Juan..."

"Apap, kasurku kan kecil. Ya gak muatlah untuk bertiga..."

"Muat kan, pip...?"

"Iya, dimuat-muatin aja --"

Akhirnya aku yang mengalah. Aku setuju mau tidur bersama lagi, di kamar mereka. Tapi dengan syarat, apap dan apip gak boleh berhubungan badan lagi, selama ada aku, Adnan, dan Kak Benny di apartemen ini.

"Berarti, kalau apip sama apap lagi pengen..." apip menatap apap lesu.

"Ya, ke hotel. Pokoknya jangan disini! Oke...!?"

• • •

Like Father Like SonWhere stories live. Discover now