34

905 85 3
                                    

"Hmmm --- pake apa enggak ya, dek?"

Aku geli sendiri melihat Kak Benny yang sekarang lagi berdiri di sisi kasur, dalam kondisi telanjang bulat, dengan wajahnya yang seperti orang bingung sambil memegang kondom di tangan kanannya.

"Terserah kakak aja. Mau pakai apa enggak."

"Aku takut, dek --" dengan wajah cemas, dia duduk di sebelahku. "Oke, sebentar lagi aku emang lulus sekolah. Tapi, gimana sama kamu? Kalau kamu hamil ---"

Aku menoleh ke arah pintu. Bukannya tadi Kak Benny sudah mengunci pintu itu? Lantas, kenapa Kak Gery dan Kak Tito sudah berdiri disana, sambil memperhatikan kami dengan mulut menganga...?

"Setan lo pada...!!" Kak Benny refleks meraih bantal, lalu menutupi bagian penisnya yang sudah ereksi penuh itu.

"Hhehee --" Kak Gery ketawa kikuk. Sementara Kak Tito udah balik badan duluan.

"Ganggu aja sih lo...?!"

"Hmm --- gue butuh bantuan lo..." Kak Gery pun menarik Kak Ben ke kamar mandi.

Untungnya aku masih memakai pakaian lengkap. Jadi, aku gak perlu malu dengan kedua orang itu.

"Kalo langsung dua gimana, men?

"Langsung empat juga terserah! Asal lo sanggup aja genjot sampai besok pagi!" Dari nada suaranya, aku tahu kalau Kak Benny pasti agak kesal dengan sahabatnya itu.

Sambil bersungut-sungut dia menyusulku naik ke atas kasur. Tentu saja kali ini dia sudah memakai celana pendek dan kaos oblongnya.

"Ben ---" kepala Kak Gery menyembul lagi dari balik pintu.

"Apaan lagi?!"

"Pelicinnya mana?"

"Astaga si monyet...!"

"Kak --" aku memegang tangannya.

"Di kamar mandi, ambil sendiri!"

"Gue bawa semua ya..!"

"Waktu itu kita gak jadi karena Junior. Sekarang gak jadi lagi karena dua curut itu...!?"

Aku naik ke atas tubuhnya Kak Benny. Lalu kuletakkan kepalaku di atas dadanya. Tangan Kak Benny melingkar, memelukku erat sekali.

"Aku ragu kalo Adnan bisa, dek."

"Kenapa ragu, kak?"

"Dia itu kan paling gak bisa sandiwara. Kalo dia gak suka, ya langsung keliatan dari raut wajahnya."

"Kak Ben masih marah gak sama Om Rico dan papaku?"

"Kenapa marah?"

"Yaaa --- karena mereka udah ngusir kakak."

"Kalo gak gitu, semua kebenaran gak akan pernah terungkap."

Mata kami saling menatap. Jantungku berdebar. Mungkinkah, pada akhirnya aku benar-benar jatuh cinta sama Kak Benny...??

Tapi, aku masih terlalu takut kalau kejadian itu harus terulang.

Bagaimana kalau misalnya Kak Benny seperti Yamada...?

Yang dengan tiba-tiba meninggalkanku, hanya karena wanita asing yang mendadak muncul diantara kami berdua...?

Kutatap wajah Kak Benny yang tampan dan tegas itu. Sekali lagi aku mengangguk. Meyakinkannya, bahwa aku telah siap menerima hentakkan rudal panasnya itu.

Mataku memejam sejenak. Kurasakan benda kenyal dan padat itu, menembus lubang anusku sedikit demi sedikit.

Tangan Kak Benny membelai kepalaku. "Udah masuk ---" desahnya.

Like Father Like SonDonde viven las historias. Descúbrelo ahora