11. Saputangan

570 119 1
                                    

"Jangan berpikir kamu adalah orang yang paling menderita. Ingat penghuni di muka bumi ini bukan hanya kamu."

•Happy reading•



Pukul dua siang lebih lima belas menit tadi acara pemakaman Toni sudah selesai dilakukan. Dan saat itu pukul setengah empat sore terlihat Adeeva kembali lagi ke makam Papanya sendirian.

Gadis itu berjongkok di samping makam Toni yang masih basah dan harum. Tangan Adeeva mengelus nisan kayu bertuliskan nama Toni, matanya kembali terasa perih, sampai akhirnya isakan tangis kembali terdengar.

Bagi Adeeva, Toni adalah sosok Papa yang sempurna. Apapun yang menjadi keinginan Adeeva pasti selalu Toni penuhi, bahkan terkadang tanpa Adeeva minta Toni akan selalu memberinya sesuatu yang sangat berarti. Dan kasih sayang yang Toni berikan padanya sungguh membuat Adeeva merasa sangat beruntung.

Ketika Toni mengalami kecelakaan, Adeeva sangat takut Toni akan meninggalkannya waktu itu, tapi beruntung Toni selamat, meskipun harus mengalami kelumpuhan. Dan ketika Toni sudah tak bisa lagi beraktivitas seperti dulu, Adeeva begitu menjaga Toni. Gadis itu mengurus Toni dengan sabar tanpa mengeluh sedikit pun, sama seperti Toni yang dulu dengan sabar telah mengurusnya.

Bahkan setiap malam, Adeeva selalu datang ke kamar Toni untuk memeriksa dan memastikan bahwa Papanya masih bernapas. Adeeva tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ketika Toni meninggalkan dia dan Mamanya. Adeeva bukan tidak percaya Herlita akan mengurusnya dengan baik, tetapi Adeeva hanya tak bisa yakin bahwa dia dan Mamanya akan bahagia tanpa adanya Toni di sisi mereka.

Dan hari kemarin apa yang menjadi ketakutannya selama ini terjadi. Toni akhirnya benar-benar pergi meninggalkan Adeeva dan Herlita. Toni pergi untuk selamanya saat hanya Adeeva yang ada di sisi Toni dan itu jelas sangat menyakitkan untuk Adeeva.

Sudah banyak orang menyuruhnya untuk kuat dan tidak menangis, tapi Adeeva tak bisa untuk tidak menangis. Toni adalah salah satu bahu kokoh yang menopang hidupnya, jadi bagaimana bisa Adeeva menahan air matanya?

Gadis berusia tujuh belas tahun itu menatap nisan Toni dengan mata yang sudah sangat sembab dan merah. Tanpa bisa Adeeva cegah lagi, satu tetes air matanya berhasil jatuh di atas gundukan makam Toni.

Seperti melihat sosok Toni di sana, Adeeva berusaha mengatakan apa yang saat itu memenuhi hati dan kepalanya. "Papa kenapa ninggalin Adeeva? Papa udah janji bakal sembuh dan bakal ajak Adeeva jalan-jalan."

"Kenapa Papa bohongin Adeeva?"

"Dia gak pernah bohongin lo. Tapi dia berusaha buat ngeyakinin lo kalau emang suatu saat dia bisa sembuh dan bisa seneng-seneng lagi sama lo," sahut seseorang dari samping Adeeva.

Adeeva sempat tekejut, kemudian gadis itu menoleh untuk melihat siapa yang menghampirinya. Dilihat ternyata yang datang adalah seorang laki-laki yang tak asing di indra pengelihatannya. Dehaan.

Dehaan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. "Butuh sapu tangan?" Dehaan mengulurkan tangannya yang membawa saputangan ke hadapan Adeeva.

Tak bicara apapun Adeeva menerimanya, kemudian digunakan saputangan berwarna abu-abu itu untuk menghapus air matanya.

Dehaan yang senantiasa berdiri di tempatnya terus memperhatikan Adeeva, kemudian laki-laki itu kembali mengulurkan tangannya. Adeeva yang melihatnya dengan polos mengembalikan saputangan yang tadi Dehaan berikan. Melihat kepolosan Adeeva, bibir Dehaan mengukir senyum tipis.

Dehaan tak berkomentar. Dia memindahkan saputangan itu ke tangan kirinya. Dan tangan kanannya kembali terulur.

Dengan wajah yang tak lagi basah, karena air mata Adeeva menatap Dehaan bingung. "Apa?"

ERLEBNISSE (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang