First Show

7 2 0
                                    


Seokjin mendongakkan wajahnya ke atas langit, matanya menyipit saat mengenai sinar matahari yang menusuk ke bola matanya. Walau tidak secerah biasanya, karena malam nanti salju akan turun tidak terasa sudah memasuki musim dingin dan malam nanti salju pertama akan turun. Dia ingin sekali melihat salju pertama turun ke bumi, merasakan dingin itu menyentuh telapak tangannya lalu berputar-putar di bawah salju yang mulai turun dengan deras.

"Hey sedang apa?"

Seokjin menoleh sekilas tersenyum tipis saat mendapati telapak tangannya di genggam erat olehnya, rasa hangat mengelilinginya saat ini. "Hanya memandang langit saja."

Namjoon membawa Seokjin pergi dari taman itu, karena di rasa sudah hampir tengah hari dan mereka sama sekali belum makan. Namjoon hanya tertawa kecil mendapati kekasihnya yang sangat begitu suka langit, tapi Namjoon akui langit itu memang indah jadi mata tidak akan lepas melihat langit saat berada di luar. Seperti kebiasaan semua orang, dan itu termasuk orang terkasihnya.

Seokjin melirik Namjoon dengan ekor matanya menggigit bawah bibirnya, dia ingin menyuarakan sesuatu tapi itu tertahan di tenggorokannya dan berakhir tidak mengucapkannya. Memilih diam menatap tangan mereka yang tertaut, senyum tipis pun tercipta namun ada perasaan yang membuatnya sedih dan merasakan kegiatannya ini tidak akan di rasakan lagi.

"Mau lihat salju pertama turun?" tanya Namjoon yang tiba-tiba.

Seokjin menolehkan wajahnya seketika, menatapnya penuh dengan binar kekasihnya memang terbaik dia selalu tahu sebelum dirinya memberi tahunya. "Tentu itu keinginanku tadi saat melihat langit, kamu memang yang paling mengerti aku."

Namjoon tersenyum bangga saat mendengar pujian Seokjin di berikan untuknya, walau sering mendengarnya tetap saja itu membuatnya menjadi lebih berguna lagi. "Siapa lagi yang mengerti kamu selain aku," godanya menatap penuh jahil pada Seokjin.

Seokjin berdecih. "Ya, ya, ya. Selain kamu siapa lagi?"

Mereka berdua pun tertawa bersama dengan Seokjin yang sedikit memeluk Namjoon, lebih tepatnya lengannya. Entah tertawa karena apa, tapi mereka nyaman melakukan hal itu seperti memang di takdirkan bersama jangankan untuk itu mereka saling tatap saja akan tertawa kecil melihatnya. Perasaan cinta memang sebesar itu, melakukan hal kecil, perlakuan kecil dan perhatian kecil saja sudah terasa sangat bahagia bagi mereka. Seperti tidak membutuhkan hal lain, karena mereka hanya membutuhkan satu sama lain di hidup ini tanpa hal lainnya.

Siang itu, Seokjin dan Namjoon menghabiskan waktunya bersama berdua sepanjang waktu sampai sore hari. Makan, jalan-jalan, foto bersama di dekat bukti dan juga bercumbu saling memberi kehangatan saat musim dingin datang. Tidak ada yang bisa melarang mereka untuk tidak melakukan hal itu, karena ini sebuah tradisi yang di buat sendiri saat musim dingin  tiba dan mereka sangat nyaman akan hal itu.

Menghabiskan waktu berdua dan berharap akan terus bisa seperti itu sampai tua nanti.

.

.

.

Butiran putih itu sudah turun dari kemarin malam, menutupi jalanan sampai membuat kota menjadi kota mati saat salju sudah akan menebal dan membuat semua orang terus berada di rumah. Berkumpul bersama keluarga, meminum teh panas di dekat perapian atau memakan kue jahe bersama coklat panas sembari menatap salju turun.

Begitu menyenangkan bukan?

Namun orang gila mana yang berani keluar rumah, duduk di kursi dengan baju  terbilang tipis hanya mengenakan sweater di dalamnya dan hanya satu cardigan yang melindungi tubuhnya. Padahal cuaca begitu dingin apalagi orang gila itu duduk di malam hari, cuaca dingin itu akan membunuhnya menjadi manusia beku tapi orang gila itu tidak memperdulikanya karena dirinya pun ingin mati dan menyusul kekasihnya di atas sana.

Orang gila itu adalah Kim Seokjin.

Katakan saja kalau Seokjin sudah tidak waras dengan apa yang di lakukannya saat ini, duduk termenung seperti tidak merasakan apapun padahal hidung dan bulu matanya sudah terlihat membeku. Dan dia sama sekali tidak ingin beranjak menghangatkan tubuhnya.

"𝘕𝘢𝘮𝘫𝘰𝘰𝘯!" 𝘵𝘦𝘳𝘪𝘢𝘬 𝘚𝘦𝘰𝘬𝘫𝘪𝘯 𝘴𝘦𝘳𝘢𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘭𝘢𝘳𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘫𝘶 𝘬𝘦 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘕𝘢𝘮𝘫𝘰𝘰𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘥𝘢.

Seharusnya Seokjin menggenggam tangannya lebih erat lagi, agar tidak bisa pergi sembarangan tanpa izinnya. Seharusnya malam itu adalah malam bahagainya bersama Namjoon seorang, setelah menghabiskan waktu bersama seharian kegiatan terakhir mereka hanya melihat salju pertama turun.

Itu akan sempurna.

Namun, tepat saat di tengah malam Namjoon pergi meninggalkannya dan salju pertama turun di tepat wajahnya. Saat itu juga air matanya mengalir dengan deras, hari di mana Seokjin menanti hari itu juga yang Seokjin benci. Saat itu niat Namjoon baik dia tidak sengaja melihat ada seekor kucing yang ingin menyebrang jalan, jiwanya yang suka menolong siapapun timbul begitu saja tanpa meminta izin dari Seokjin dia berjalan dan mengambil kucing itu ke dalam pelukkannya. Namjoon pikir tidak ada kendaraan lain yang akan melaju di tengah malam ini, ternyata masih ada dan itu adalah mobil yang saat ini tengah melaju begitu cepat ke arahnya Namjoon pastikan yang mengemudi sedang keadaan mabuk dan tidak bisa mengontrol dirinya. Maka yang Namjoon pilih adalah melangkah lebih cepat, agar badan mobil itu tidak menabraknya.

Sudah berusaha semaksimal mungkin jarak mobil dengan dirinya begitu sangat dekat, kejadian itupun terjadi dengan cepat tubuhnya terpental melindungi kucing itu di dalam pelukkannya dia tersenyum dan juga meringis saat bersamaan. Senyum karena bangga melihat kucingnya baik-baik saja, meringis saat mendengar kekasihnya berteriak begitu kencang memanggil namanya Namjoon ingin sekali mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi darah yang sudah mengucur deras di daerah kepalanya, membuat Namjoon tidak bisa berbuat banyak saat mendengar derap langkah mendekat yang Namjoon yakini itu kekasihnya dia terpejam begitu rapat tanpa membukanya kembali.

Kepala Seokjin bergerak menatap langit malam yang begitu terang di atas sana, tersenyum tapi dia mengeluarkan air matanya. "Orang tuaku pergi, Kakakku pergi, Adikku pergi dan sekarang Namjoon juga pergi. Semua orang yang aku sayang telah kau ambil, tidak bisakah kau menyisakan Namjoon seorang untukku saja? Ini begitu menyiksaku."

Kutukan itu.

Kutukan itu benar adanya, yang di mana dia anak yang hanya membawa sial bagi kehidupan seseorang. Orang yang ada di kehidupannya akan pergi meninggalkannya atau hal lainnya di mana orang-orang menatapnya takut. Saat kelahirannya Seokjin sudah menderita saat ibunya mengandung dirinya, saat di mana tetua desanya berkata bahwa akan ada bencana besar yang melanda desanya karena akan ada anak pembawa sial lahir.

Saat itu keluarganya di pandang rendah, tidak di hormati tidak di segani atau tidak lagi di hargai karena mereka menolak untuk menggugurkan bayi itu. Karena orang tua Seokjin tidak percaya akan hal itu, namun saat ini Seokjin percaya bahwa semuanya terjadi karena dirinya dan bukan takdir atau Tuhan yang melakukannya.

Seharusnya orang tuanya menurut saja apa yang di kata tetua itu untuk membunuhnya, bahkan Seokjin yakin bahwa ibu, ayah, kakak dan adiknya masih hidup dan bernapas saat ini. Kalau bukan karena dirinya kekasihnya, Namjoon juga akan hidup bermain bersama teman-temannya tapi....

Dia pergi, sudah pergi meninggalkannya sendiri di sini.

"Takdir mengutuskanku untuk pergi dari dunia ini, aku akan melakukan hal itu saat ini."

Setelah mengucapkan akan hal itu, Seokjin ambruk menghantamkan tubuhnya di atas salju lalu darah keluar dari kedua hidungnya. Wajahnya sangat pucat dan berwarna biru, matanya terpejam begitu erat namun bukan air mata yang keluar tapi senyum manis tercipta cantik di wajahnya.

Seokjin tidak sedih atau membodohi sikapnya, tapi dia merasa bebas dari semua rasa bersalah dan lelahnya karena selalu saja lari menjauhkan diri dari semua orang. Dan akhirnya dia bisa bernapas normal karena rasa semua itu, sudah pergi bersama dirinya yang tidak bernyawa.














THE END




Yya! Singkat sekali ceritanya, hahaaa.



















Inside DreamWhere stories live. Discover now