Diabaikan

905 110 38
                                    

Aku dan Gempa bergegas menghampiri kamar Thorn. Aku sangat khawatir dengan keadaan dia. Yang aku pikirkan saat ini ialah kenapa? Kenapa Thorn bisa pingsan?

Brak!

Gempa membuka pintu kamar Thorn dengan kuat. Disana terdapat Thorn yang sedang berbaring di ranjangnya dalam keadaan pingsan. Sedangkan yang lainnya berdiri mengitari ranjang Thorn.

Aku mengatur napasku sebentar dan mulai menetralkan detak jantungku yang berdegup kencang. Aku melihat saudara-saudaraku satu persatu. Raut wajah mereka tampaknya sangat cemas dan khawatir.

"Ice," Aku memanggil Ice karena nampaknya hanya dirinya yang agak sedikit tenang walaupun kekhawatirannya nampak begitu jelas di mataku. Dengan begitu aku bisa bertanya dengan mudah.

Ice menoleh sambil menaikkan alis kanannya yang menandakan "Apa?" Sebelum aku bertanya, aku melirik Thorn sebentar dan kembali menatap mata Ice yang memerah. Sepertinya dia sedang menahan tangis.

"Apa yang terjadi dengan Thorn?" tanyaku. Ice menundukkan kepala dan menghela napas. "A-aku tidak tahu kak," jawabnya dengan suara serak. Tepat sekali, Ice pasti sedang menahan tangis.

Aku memejamkan kedua mataku sebentar dan kembali melihat Thorn yang terbaring di ranjang. Wajah pucat dan rambut yang acak-acakkan membuat hatiku terenyuh. Aku mendekatkan diriku dengannya dan menyentuh tanggannya.

Dingin. Itu yang kurasakan. Kulepas sentuhan tanganku itu dan melirik Halilintar yang duduk di samping ranjang. Dia diam dan tidak bergerak sama sekali. Matanya selalu menatap Thorn.

Aku menghela napas lagi lalu berjalan ke arah pintu. "Apakah tidak ada yang tahu kenapa Thorn bisa seperti ini?" tanyaku sambil menatap mereka satu persatu.

Sunyi. Tidak ada jawaban sama sekali. Mereka hanya sibuk menatap Thorn yang terbaring dari tadi. Oh ayolah, tidak mungkin mereka menghabiskan waktu hanya untuk menatap adik kecil itu. Aku sudah mulai kesal melihat sikap mereka.

Lebih baik aku keluar saja daripada berdiam diri seperti patung dan tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Aku keluar dari kamar Thorn dan meninggalkan mereka.

Seharusnya mereka menjawab pertanyaanku tadi bukannya hanya memandang Thorn. Jika memang tidak tahu, setidaknya mereka menjawab pertanyaanku tadi. Kalian tahu kan bagaimana rasanya diabaikan? Tidak enak. Rasanya seperti orang yang dianggap tidak penting.

***

"Kalian lihat tadi? Taufan meninggalkan kita, meninggalkan Thorn hanya karena kita tidak menjawab pertanyaannya," Halilintar membuka suara dengan mata yang tetap menatap Thorn.

Ice menatap Halilintar bingung. "Jadi, kenapa kak? Aku masih tidak mengerti," Halilintar melirik Ice sebentar lalu menatap ke bawah. Sepertinya untuk saat ini lantai lebih menarik di mata Halilintar.

"Kenapa apanya? Kalau memang dia adalah kakak yang baik, seharusnya dia tetap berdiri disini dan menjaga Thorn. Bukannya meninggalkan kita," jawab Halilintar. Ice mengangguk paham.

"Aku tahu itu. Tapi apakah kalian tidak merasakan perasaannya juga?" Gempa balik bertanya. "Apa yang dirasakannya? Senang? Senang karena melihat Thorn yang kesakitan dan meninggalkan kita semua disini?!" tanya Halilintar dengan nada yang agak tinggi.

Sepertinya Halilintar mulai tersulut emosi. Blaze langsung mengusap punggung kakaknya itu agar merasa sedikit tenang.

"Jangan terlalu berpikir yang tidak-tidak. Mungkin dia merasa tidak penting karena kita mengabaikannya," ujar Gempa. "Cih, itu karena dianya saja yang terlalu membawa perasaan," ejek Halilintar.

***

Kenapa? Kenapa mereka tidak menjawab pertanyaanku tadi? Aku kan hanya memastikan apa yang terjadi dengan Thorn.

Sekarang aku sedang duduk di bangku taman belakang. Aku sedang bergelut dengan pikiranku. Pikiranku penuh dengan pertanyaan yang menumpuk.

"Huuh," Aku menghela napas kesekian kalinya. Sepertinya hidupku sekarang penuh dengan helaan napas. Sudah cukup memikirkan mereka yang bisu mendadak, ini saatnya aku memikirkan keadaan Thorn.

Ada apa dengan dia? Kenapa dia mendadak pingsan?

Aku mengetuk keningku dengan jari telunjukku. Berusaha mencari tahu hal yang menyebabkan Thorn pingsan. Dan...

Ha! Aku tahu!

"Aargh! Bodoh sekali kamu Taufan! Kenapa kamu lupa memberikan energi kuasamu kepada 'pria' itu??!" Aku terus merutuki kebodohanku.

Entah sejak kapan bodoh menimpa diriku. Biasanya aku tidak pernah lupa menepati janji yang kubuat dengannya.

Tanpa menunggu lama, aku bergegas pergi dari rumah dan segera mendatangi 'pria' itu.

***

"Kamu masih saja tidak mengerti. Dia pasti keluar kamar karena merasa terabaikan. Dia hanya mau memastikana apa yang sebenarnya terjadi dengan Thorn. Setidaknya kita tadi menjawab pertanyaannya walaupun kita tidak tahu kenapa," jelas Gempa panjang lebar.

"Iya, Kak Taufan pasti merasa sedih sekali," Solar ikut menyahut. "Haha, jangan bodoh kalian. Kalau memang kalian bilang Taufan merasa terabaikan, kenapa kalian tidak menjawab pertanyaanya juga?" tanya Halilintar dengan tawa meremehkan.

Seketika mulut mereka bungkam. Tidak ada yang menyahut. Tidak ada lagi yang menjawab pertanyaan Halilintar. Yang dikatakan Halilintar ada benarnya.. Kenapa mereka tidak menjawab pertanyaan Taufan juga?

"Diam juga kalian. Pikiran dia terlalu pendek. Hanya karena kita tidak menyahuti, dia pergi begitu saja. Seharusnya dia tahu kalau kita tidak tahu apa yang menyebabkan Thorn pingsan seperti ini. Sebagai kakak bukannya menjaga adiknya, tapi malah kabur," ujar Halilintar.

"Cukup kak! Jangan menghina Kak Taufan! Mungkin dia pergi keluar untuk mencari pertolongan!" sentak Blaze.

"Maaf," ucap Halilintar. Benar kata Blaze, dia seharusnya tidak boleh menghina Taufan. Bagaimanapun juga, Taufan itu adalah adiknya.

"Aku akan meminta maaf kepadanya setelah dia pulang nanti," batin Halilintar.



Tbc.

Jangan lupa vote, comment, & follow yaa ^^

See u next!

Painful Life [END]Where stories live. Discover now