Chapter 02.

910 176 20
                                    

"Cuma butuh buku?"
Tanya Jay ketika Jake selesai dengan urusannya dengan alat tulis.

"Iya, udah ada semua. Satu lagi, tapi kayaknya nggak usah-" Jake terlihat berpikir sembentar sebelum lanjut berucap.
"Alat panjang untuk buat garis lurus?"

Dahi Jay mengkerut, berusaha memahami maksud perkataan Jake. Lalu dia menoleh ke Satrio.

"Maksud lo, penggaris?"
Tanya Satrio dengan cengiran bangga ketika Jake mengangguk; membenarkan.

Hal selanjutnya yang Jay lihat adalah keduanya menyatukan tangan; melakukan handsake sederhana. Partner yang sempurna, pikir Jay.

Jake dengan segala penasaran dan pertanyaan konyol, lalu Satrio dengan segenap kerelaan untuk menanggapinya. Tidak heran kalau keduanya cepat akrab.

Bahkan di pertemuan pertama, Jake dan Satrio sudah asik mengobrol tentang siapa guru Favorite di sekolah mereka, lalu kompak mengabaikan Jay yang mengatakan kalau dia tidak punya guru Favorite.

"lo kayaknya memang nggak perlu deh, materi bangun ruang udah nggak ada."
Celetuk Jay. lagian kalau perlu, mereka bisa meminjam punya siswa lain.

Bagi Jay, sudah hukum alam namanya kalau alat tulis di kelas adalah milik bersama. Masih untung mereka semua adalah kumpulan orang-orang tau diri. Jadi, mereka benar-benar meminjam dan betanggungjawab mengembalikan.

Ya, walaupun kadang masih ada saja alat tulis Satrio yang hilang. Tidak tahu siapa yang pakai.

"Oke. Leader di kelas kita siapa?" tanya Jake. Dia membenarkan ranselnya yang agak merosot. Isinya kelihatan banyak, kayak mau transmigrasi aja.

Jay lagi-lagi tertawa pelan, padahal dia tahu kalau pertanyaan Jake itu tidak ada unsur humor sama-sekali. Tetapi semua istilah dan kata-kata yang Jake gunakan utuk menyampaikan maksud sedikit terasa rumit, jadinya lucu.

Satrio pun berpikir serupa, tapi kalah oleh antusias.
"Ketua kelas. Lo bisa sebut leader itu ketua kelas."

Jake mengangguk patuh, dia lupa dengan yang satu itu. Padahal kalau tidak salah, Jefry sudah memberitahu semalam.
"Oh, aku lupa. Jadi, siapa?"

"Namanya Anin, ada-lah ... nanti kita kasi tau."
Itu Jay yang menjawab, dia yakin kalau Satrio terlihat tidak akan seantusias biasanya untuk yang satu ini.

Jake mengangguk singkat untuk menanggapi, matanya memadang suasana sekitar. Sekolah sudah mulai ramai dengan siswa, ada yang kejar-kejaran di koridor bawah dan bahkan sepagi ini sudah ada yang terlihat mendrible ringan bola basket di lapangan. Giat sekali mereka olahraga, pikir Jake.

Satrio bilang kelas mereka ada di lantai dua, jadi ada waktu untuk Jake sekedar menetralkan gugup. Awalnya Jake pikir akan masuk ke kelas bersama wali kelas. Tapi kepala sekolah bilang, dia boleh masuk kelas duluan dan akan berkenalan secara resmi setelah wali kelas masuk nanti.

Otomatis dia akan menjawab banyak pertanyaan sebelum itu. Tidak masalah sih, ngomong-ngomong. Jake mungkin hanya tidak suka ditatap dengan penuh tanya seperti satrio menatapnya di depan rumah anak itu, tadi.

"Anin!" seru Jay, sekaligus membuyarkan Jake dari lamunannya. Ah, mereka sudah sampai di kelas.
"Ada anak baru nih, urusin."

Setelah berkata semena-mena, Jay berlalu begitu saja ke mejanya yang diikuti oleh Satrio, mereka terlihat mengeluarkan buku masing-masing. Menyisakan Jake yang agak kikuk, haruskah dia berjabat tangan seperti yang dia lakukan dengan Satrio tadi?

"Siapa nama lo?"
Oh, sepertinya tidak usah. Ketua kelas mereka ini cukup baik, buktinya dia mau memulai percakapan walaupun terdengar agak tidak senang. Mungkin dia mengantuk, biasanya Jake bad mood saat mengantuk namun dipaksakan untuk beraktivitas.

Tidak ingin memikirkannya terlalu jauh, Jake lantas berdeham sebentar, memastikan bahwa suaranya tidak serak.
"Jake Igusti. Kamu boleh panggil Jake, pindahan dari Brisbane."

Anin, anak perempuan sekaligus ketua kelas mereka terdiam sebentar. Mengabsen beberapa kota di yang dia tahu di tiga puluh empat provinsi milik Indonesia.

Yogyakarta, Malang, Palangkaraya, Jakarta, Pontianak, Garut ... Naon?

Rasanya tidak ada yang namanya Brisbane. Lalu tersadar ketika melihat seragam yang dikenakan Jake bukan putih abu-abu, lalu cara bicaranya yang juga tidak terdengar seperti beberapa logat yang Anin tahu, apalagi medok; tidak sama sekali.

"kepala sekolah bilang kamu leader- um maksudku ketua kelas. Jadi, boleh aku tahu di mana bangkuku?"

Ah, dari luar negeri. Oke, cara bicaranya bagus; tidak terlalu kaku walaupun masih terdengar agak canggung, sukses membuat Anin tersenyum tipis.
"lo ada minus atau masalah mata lainnya?"

Jake menggeleng, sedikit merasa aneh. Kok dia malah ditanya soal kesehatan mata?
"Nggak ada. Mataku normal."

"Bagus. Karena huruf depan nama lo J, jadi tempat duduk lo di barisan ini, nomor dua dari belakang." jelas Anin sambil tangannya menunjuk salah satu bangku di pojokan.

Merasa paham, Jake mengangguk lagi.
"Trima kasih ... Anin?"
Dia agak tidak yakin, tapi sadar untuk tidak melihat name tag di dada kanan lawan bicaranya. Takut tidak sopan.

Yang ditanya malah terlihat menahan tawa mendengar pengucapan 'Anin' yang malah terdengar seperti 'Enin' dari mulut Jake.
"Anindiya. Panggil aja A'nin"

Mendadak Jake merasa bersalah ketika mendengar Anin memberi penekanan pada namanya.
"Oh, Oke Anin. maaf ... Kadang pelafalanku nggak bagus."

"Nggak apa-apa" balas Anin. Dia bergeser sedikit, pengertian kalau menghalangi siswa lain yang mau masuk kelas.
"Gue mau ke perpus dulu. Kalau ada yang mau ditanyain, tanya aja sama Satrio, dia wakil ketua kelas."

"Oke. Trima kasih, lagi."

Anin mengangguk kecil untuk menanggapi sebelum berlalu dari kelas.

Sementara Jake berjalan menuju bangkunya, dia berhenti sebentar di bangku Jay. Ingin tahu Jay sedang belajar apa, rajin sekali dia; datang-datang langsung belajar. Jake salut!
"Belajar apa?"

"Nyalin tugas si bangsat." Jawab Jay ringan. Benar-benar mengundang keributan.

Sayangnya Satrio terlalu malas menanggapi, bahkan suara Jake yang menanyakan apa itu bangsat dan hela napas kesal Jay jadi terdengar sayup-sayup.

Ingatannya sedang sibuk menyimpan bagaimana cara Anin tersenyum dan menyebut namanya setelah sekian lama. Rambut bergelombang Anin bahkan terlihat menari-nari di mata Satrio, tapi dia agak kesal ketika lesung pipi gadis itu terbit bukan karena dirinya.

Wangi Anin masih sama, masih cologne summer swing murah kesukaannya.

"Bangsat itu ungakapan buat sesuatu yang wow dan spektakuler, kalau menurut gue"

Suka-suka Jay saja mau menyesatkan anak orang seperti apa. Satrio belum kembali dari alam bawah sadar, dia masih mabuk wangi summer swing Anin.

"Terus kenapa Satrio dibilang bangsat?"

Jay berdecak, sejak dulu dia tidak pernah suka nonton Dora. Apalagi ada dora nyata di kehidupannya.
"Dia spektakuler, mau kasi tugasnya buat gue salin. Tapi itu juga bentuk harsh word , sih."
Jawabnya yan tidak total sembarangan.

"O ... Oke. Kalian berdua udah bantu aku hari ini, itu wow sih. Trima kasih ya bangsat."
Ucap Jake dengan senyum tulus, lalu berjalan ringan menuju bangkunya.
Menyisakan Jay yang terngaga, tidak menyangka kalau mendengar orang mengumpat dengan senyuman.

Sementara Satrio yang hanya mendengar 'sat' menoleh, merasa terpanggil.
"Siapa yang manggil?"

Sudahlah, Jay lelah.

***

Mata Air GurunWhere stories live. Discover now