Chapter 27.

692 98 7
                                    

Dua hari berlalu, Jay sudah sadar; malah dia sudah bolak-balik ke kamar rawat Jake yang juga dalam kondisi yang cukup baim. Rasanya Jay sudah melakukan banyak hal, mulai dari melontarkan lelucon tanpa ada unsur humor di dalamnya sampai bertingkah aneh; semuanya tidak berguna, Jake masih tidak memberi respon berarti. Dia banyak tidur dan terbangun karena mimpi buruk, dokter bilang itu adalah efek dari trauma masalalu, yang kemudian mempengaruhi beberapa kerja saraf.

Oleh karena itu, Jay berada di depan pintu ruang rawat Jake bermaksud ingin mengajaknya bicara atau sekedar mengacau. Jefry bilang, itu tidak masalah selama Jake tidak merasa terganggu.

Jay ingin menghibur Jake, walau dirinya sendiri masih berada dalam situasi sulit ketika membayangkan kejadian dua hari yang lalu. Setidaknya itulah tujuan Jay beberapa menit yang lalu, ketika dia memilih meinggalkan ranjang dan kedua orangtuanya. Dia ingin mengatakan pada Jake kalau tidak ada hal lain yang patut untuk ditakuti. Namun yang terjadi sekarang, malah dia yang dibuat takut dengan pemandangan di depan mata, Jake sedang memuntahkan darah dari mulutnya dengan tubuh lemas. Di ruangan itu, Jay bisa melihat semua orang berada dalam rasa panik yang mecekik.

"Jake kenapa, bang?" Adalah pertanyaan yang dia ajukan kepada Jefry tanpa mengurangi rasa hormat. Abang sepupunya itu tampak muram, namun dia membiarkan kedua orangtuanya yang mengambil alih tubuh Jake. Bukan karena senang menjadi penonton, atau abai, bahkan rasa khawatir itu sampai mampu membuatnya ingin keluar dari ruangan saking tidak tega.

"Nggak apa-apa, kata dokter bagus kalau dikeluarin." Ucapnya masih tenang seperti biasa, dalam hati bahkan tidak ada yang tahu. Kenyatan kalau dirinya bahkan tidak mampu berada dalam keadaan seperti ini, benar-benar membuat Jefry kehilangan kepercayaan diri dan mempertanyakan apakah yang dia lakukan sudah benar, atau bahkan akan menyakiti dirinya sendiri di kemudian hari.

Sementara Jay, dia hanya mampu mengangguk; mencoba percaya pada semua hal yang Jefry katakan.

"Kepala masih pecah gini, ngapain berkeliaran?" Tanya Jefry setengah melucu untuk mencairkan suasana setelah Jake tanang dan kembali memejam. Mereka memutuskan untuk mengobrol di depan ruangan supaya Jake bisa beristirahat.

Jay mendengkus malas. Mau bagaimanapun keadaannya, dia selalu bisa memaki Jefry dalam hati. "Bahasa lo sama sekali nggak mencerminkan profesi!" Apanya yang kepala pecah, 'sih? Jay cuma menambah jahitan saja, kok.

"Gue memang belum sumpah profesi." Elak Jefry dengan telak. "Sekarang gue juga nggak lagi ada jadwal." Ucapnya lagi, atau kalau ingin diperjelas; dia melimpahkan jadwal jaganya hari ini pada Juna yang kebetulan tidak keberatan sama sekali.

Jay diam saja, dia tidak tahu mau membalas ucapan Jefry dengan kalimat apa.

"Oh iya, penabraknya udah ketemu?" Tanya Jay memulai topik baru. "Soalnya papa nggak ada ngasitau."

Jefry balas mengangguk. "Pelakunya bapak-bapak, taxi lagi ngejar orderan. Saking ngebutnya mungkin hilang kendali." kemudian sengaja menjeda ucapannya untuk sekedar duduk yang diikuti oleh Jay. "Bapaknya nggak kabur, sampe harus dicari. Beliau menyerahkan diri ke kantor polisi setelah kalian dibawa ke UGD, dan otomatis beliau kehilangan pekerjaan.

Jay menghela napas iba, sekalian tersentuh. Ternyata masih ada juga orang keren yang berani bertanggungjawab walau tahu betul resikonya, pikir Jay. "Terus om Philip bakalan buat tuntutan?"

Jefry menggeleng spontan. "Lo pikir bapak gue apaan? Ya nggak! Papa bilang, keberanian seseorang untuk bertanggungjawab patut diapresiasi."

"Walaupun anaknya celaka?"

"Walaupun anaknya celaka." Balas Jefry dengan yakin. Ayahnya selalu seperti itu, dan Jefry tidak pernah gagal untuk selalu merasa bangga. "Malah bapak lo, tuh, yang kayaknya nggak rela."

Mata Air GurunWhere stories live. Discover now