Chapter 08.

658 123 10
                                    

Tawa Jefry menggema di apartemen, seketika lelahnya sepulang coass menguap. Banyak sekali tindakan di IGD hari ini, jadi Jefry pikir dia tidak mungkin sempat tertawa.

Tangannya masih menahan kompresann di rusuk Jake, sementara yang dikompres mendengkus karena ditertawai segitu berlebihanya oleh Jefry. Dokter coass, sekaligus abangnya itu bahkan tidak sadar kalau snelinya yang dari tadi diletakkan di sandaran sofa sudah tergolek begitu saja di lantai.

"Goblok banget, turunan siapa sih?" ucap Jefry disela tawanya.

Jake memalingkan muka, lalu menepis pelan tangan Jefry yang menahan kompresan.
"Aku bisa sendiri."

Jefry yang mendapat reaksi seperti itu lalu menghela napas pelan. Tawanya sudah berhenti sepenuhnya.
"Diem ah, gue dokter di sini."

"Rusuk lo kenapa jadi babak belur gini, sih?" Tanya Jefry lagi.

"Jatuh kemarin pas pergi sama Jay."

Jefry mengernyit heran.
"Orang biasanya kalau jatuh itu lecet di siku, di lutut. Ini lo langsung kejang otot di rusuk, mana memar, lagi."

Jake juga heran kok bisa rusuknya sampai memar begini, padahal kemarin dia baik-baik saja.

Jake menghela napas kasar, lalu menyandarkan tubuh sepenuhnya pada sofa.

"Sakit?" Tanya Jefry memastikan.

"Nggak. Cuma masih kepikiran yang tadi." Balas Jake dengan nada pelan.

Mendemgar itu, Jefry mulai tertawa lagi. Tapi tidak seheboh sebelumnya.
"Udahlah. Toh, si Mahesa nggak apa-apa 'kan, lo anjing-anjingin?"

"Nggak apa-apa, tapi kan nggak sopan. Lagian banyak banget idiom sama slang, sih." Jake jadi frustrasi sendiri.

Jefry juga tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya, jelas pendidikan bukan jurusannya. Lagian dia pikir juga Bahasa Indonesia itu beneran rumit, seolah satu kata berjuta makna, kadang ada yang punya arti sama namun beda cara menggunakan. Untung saja dia bisa sejak lahir.

"Nggak apa-apa lah, lo nggak sengaja. Udah minta maaf juga."

Jake tidak merespon. Jadi Jefry bersuara lagi.
"Sekarang gini deh. Ngomong aja pake cara yang lo bisa, nggak apa-apa kalau nggak ngerti idiom, slang atau apalah. Awalnya mungkin anak kelas bakalan ngerasa aneh, wajar karena, kan, jarang orang-orang ngomong formal. Tapi biarin mereka terbiasa dan lo terima diri lo sendiri, bukannya kedengaran lebih baik?"

Lagian aneh saja anak jaman sekarang, orang-orang yang bicara dengan baik dan benar malah dianggap aneh. Jefry tak habis pikir.

"Belajar aja pelan-pelan, kalau udah yakin baru praktikin. Sesuatu yang terburu-buru selalu nggak baik, paham 'kan?"

Jake mengangguk.

"Bener sih." Kata jake, banyak benarnya malah ucapan Jefry. Rusuknya berakhir wasalam begini juga karena dia terburu-buru ingin tahu bagaimana bentuk keong.

"Nanti nggak usah belajar dari Jay, dia sesat-"

"Apa nih kakak adik ngerumpiin gue?"

Jake dan Jefry kompak menoleh ke belakang, mendapati Jay berdiri di pintu yang bahkan mereka tidak tahu kapan dibukanya. bahkan Jefry belum sempat menyelesaikan ucapannya sementara Jake meringis kecil karena bergerak tiba-tiba, apa tulang rusuknya memang patah atau 'gimana.

"Udah serasa rumah sendiri ya, masuk-masuk nggak pake adab." Sungut Jefry, Jay bahkan sudah mulai menjarah kulkas; mencari air dingin.

"Ya lagian, orang telpon nggak diangkat-angkat. Gue pegel lah nunggu di luar, mumpung gue tau password yaudah masuk aja." Ucap Jay membela diri, lalu duduk di lantai depan TV dengan tangannya sibuk mengeluarkan peralatan game.

"hp gue silent dari tadi." Jelas Jefry.

Jay mengangkat kepala, lalu mengernyitkan dahi ketika sadar kalau ada kompresan di balik kaus putih Jake.
"Rusuk lo beneran patah?"

Jake mendengkus.
"Mana bisa 'sih, rusuk patah. Kalau tulang sih iya."

"Sama aja." balas Jay, dia sibuk mencari colokan di TV. Benar-benar serasa rumah sendiri.

"Jadi beneran, bang?" Kini Jay sudah memusatkan perhatian kepada Jefry, menunggu jawaban.

"Nggak, ototnya aja kejang. Lagian kalian tempat mainnya kok aneh-aneh."
Ucap Jefry, tangannya bergerak menarik kompresan.

"Yang bener itu gara-gara senam lantai, badan gue aja masih pegel abis rol depan-belakang. Salahin pak Husdan dong." bantah Jay tidak terima disalahkan.

"Ya tetap aja asal-usulnya kan gara-gara main." balas Jefry tidak kalah sengit.

Jake jadi pusing sendiri, kelakuan dua manusia di depannya ini sama saja. Padahal usia mereka terpaut cukup jauh.

"Bang, bau antiseptik. Mandi sana!" Usir Jake untuk melerai perdebatan tidak beguna di hadapannya.

Jefry setuju sih, biasanya dia akan langsung mandi ketika sampai di rumah. Mengabaikan Jay yang sudah anteng menggerakkan consol game, Jefry lantas memungut snelinya dan beranjak untuk mandi.
"kompresnya cukup, besok paling udah mendingan."

Jake mengangguk, lalu turun dari sofa untuk bergabung dengan Jay.
"Nggak punya rumah ya?" Tanya Jake dengan bermaksud untuk menyindir Jay.

"Gue punya, makasih udah nanya." balas Jay dengan nada kesal, ingin sekali dia mengatakan kalau sebelum Jake pindah, dia lebih dulu menguasai apartemen ini. Tapi kemudian dia sadar, yang punya apartemen 'kan Jake, kenapa malah dia jadi sentimen.

"Terus kenapa di sini? malam-malam lagi.

Jay mendengkus malas.
"Males di rumah."
Di rumahnya tidak ada siapa-siapa, Jay bahkan jadi takut ketika mendengar suara detak jantungnya sendiri. Jadi, ke apartement Jefry adalah pilihan tepat menurutnya.

Jake tidak menjawab lagi, dia bersingsut lebih dekat ke TV untuk mencabut colokan consol Jay.
"Ngapain di cabut? Nggak senang lo?" sambar Jay emosi, kelakuan Jake kayak bocah. Serius.

Jake berdecak, pikiran Jay ini kotor sekali terhadap dirinya.
"punya lawan main kayaknya lebih seru daripada lo main sendirian, stupid!"
Jay terngaga mendengar Jake mengatainya.

"Nunggu apa? Gerak lah." ucap Jake lagi setelah selesai mengatur perangkat yang akan digunakan.

Jay baru tersadar kembali, kemudian langsung bermain penuh ambisi. Kali ini dia punya lawan main, atau mungkin lebih baik disebut sebagai teman bermain, jadi Jay tau kalau dia ingin menang.

"Oiya, sebelum aku lupa. Nama Satrio itu Satria atau biasanya dipanggil Satria?" Tanya Jake, tidak betah dengan suasana hening.

"Bukan. Satria itu abang kembarnya." Jawab Jay pelan.

"Wow, sekolah di mana?"
Seharusnya kan satu angkatan dengan mereka, pikir Jake.

"Udah meninggal."

"Ah, Sorry." Sesal Jake, seharusnya dia tidak bertanya. Apalagi Satrio saat ini tidak bersama mereka.

"Nggak apa-apa. 'kan lo jadi nggak pelanga-pelongo pas ada yang manggil dia Satria."
Balas Jay lagi, gerak tanggan mereka di consol jadi memelan.

"But why? Kenapa orang-orang jadi manggil Satria?"

"Dulu dia sering ngenalin diri dengan nama Satria. Proses dia ngerelain emang nggak mudah sih." Jay jadi saksi bagaimana Satrio kadang lupa bahwa kembarannya sudah tidak ada.

"Ofcourse, he lost his half soul."
Jake paham. Bahkan dia bisa merasakan rasa sakit merayap di ulu hatinya, padahal yang cidera 'kan rusuk.

"Skip, mau muntah" celetuk Jake ketika bau kripik kentang yang Jay buka lima belas menit lalu malah tercium seperti bau besi berkarat.

Jay memandangi Jake yang sedikit berlari menuju toilet dengan tatapan aneh, dia lantas berdecak mendengar pintu ditutup keras. Kalau begini kan permainan jadi tidak adil, Jay menang bukan karena perlawanan.

"Apa kata gue, senam lantai emang selalu ngebuat mual." ucap Jay misuh-misuh, Pak Husdan 'sih. Dikiranya nggak pusing apa, rol depan-belakang, kayang lah segala. Jay jadi kesal.

***

Mata Air GurunDonde viven las historias. Descúbrelo ahora