Chapter 06.

761 131 30
                                    

Sore hari, selalu jadi waktu yang Jake suka. Semua aktivitas selesai, baik atau buruk hari itu, setidaknya selesai.

Namun hari ini, tidak ada alasan untuk menyebutnya sebagai hari yang buruk. Bahkan dia, Jay dan Satrio berakhir di perjalanan kembali ke rumah dengan perasaan yang baik.

Jake bukan orang yang bisa menilai senja sebagai sesuatu yang puitis. Hanya saja, kali ini rasanya memang berbeda; matahari sore sehabis hujan, terasa hangat.

Dia menoleh ke bangku belakang dan mendapati Satrio tertidur. Jadinya hanya tersisa dia dan Jay yang menyetir.

Sepupunya itu juga terlihat berbeda; walau Jay tidak benar-benar tersenyum, tapi bibirnya tidak berhenti bersenandung mengikuti lagu Dancing Like Butterfly Wings Milik Ateez yang seakan menjadi Music background mereka sore itu.

"An infinity that never ends, I don't know how we"ll reach the end. but, fly high~"

Selama ini, Jake sering mendengar lagu-lagu Justin Bieber dan Holy adalah favoritenya. Tapi tidak bohong kalau dia menikmati playlist Jay, bahkan sekarang dia mengetuk-ngetukkan telunjuk ke jog yang dia duduki.

Hari ini yang dia habiskan di balai baca, akan selamanya menjadi kenangan yang baik.

"Kamu kayaknya sering ya, datang ke balai baca." Ucap Jake memulai obrolan, tetapi dia tidak menoleh pada Jay; jalanan lurus di depan sana masih menyita perhatiannya.

"Iya. Gue senang main ke sana dan gue yakin lo juga ngerasain aura positif pas di sana." Jay tidak bohong, dia selalu percaya kalau kita akan selalu merasa baik di tempat.
"Sesekali buat healing, gue butuh keramaian. Anak-anak di sana berisik, tapi anehnya gue suka."

Jake setuju, kadang memang begitu 'kan; suara tawa tulus bisa membuat kita merasa lebih hidup, rasanya seperti darah mengalir dengan lancar ke seluruh tubuh, membawa pasokan oksigen yang cukup.

"Apalagi ada mbak Ayu." Celetuk Jake lalu terkekeh, masih jelas di ingatannya ketika Jay salah tingkah ditanya kabar oleh mbak Ayu; guru TK di sana, kebetulan juga yang mengurus balai baca.
"Salad buah mangganya juga enak."

"Rujak Jake. Mengada-ngada banget lo!" Kesal Jay, masalahnya Jake terus menyebut rujak mangga yang mbak Ayu buat itu salad.

"Eh iya. Sorry lupa."

Jay mendengkus, Mana ada salad salad dengan cita rasa asin, asam, pedas.
"Ngomong-ngomong, tulang rusuk lo aman?"

Jake yang ditanya begitu lalu menyibak sedikit jaket hitamnya, lantas mengela napas lelah ketika melihat ada noda tanah tercetak di kaus putih yang dia kenakan. Tepat di bagian rusuk, dia dapatkan saat terjatuh di pematang sawah tadi.
"Nggak apa-apa. Tapi nanti mungkin kena damprat bang Jefry."

Jay terkekeh, Jake tau apa itu damprat. Ada kemajuan, pikirnya. Akhirnya setelah minggu lalu menanyakan apa maksud dari kata itu kepada Satrio.
"Kenapa?"

"Karena biasanya dia yang ngurusin pakaian kotor."

Jay melotot. "Jefry? Nyuci?"

Jake menggeleng cepat, tidak rela image Jefry serajin itu.
"Bawa ke laundry, sementara aku yang urus bahan makanan."

Pantes, pikir Jay.
"Lagian lo sih, kayak bocah aja pake segala lari-larian. Udah tau licin.

"Bocah itu apa?"

Dia mulai lagi.

"Anak kecil, tau?" tanya Jay lelah, sayang sekali Satrio masih tidur.

Jake mengangguk, lagi-lagi tatapannya begitu; polos dan menaruh antusias.

Mata Air GurunWhere stories live. Discover now