Chapter 19.

554 89 0
                                    

Jay bangun kesiangan pagi ini setelah punya petualangan panjang bersama Satrio dan Jake sorenya.

Jay juga ingat kalau Jefry sudah janji akan mengurus mobilnya, jadi cepat-cepat dia menuruni anak tangga untuk mengecek.

Dan benar saja, rangeover hitam kesayangannya sudah terparkir manis di depan rumah tanpa tergores sedikitpun.

"Sekarang kamu punya kebiasaan baru, ninggalin mobil sembarangan?"

Jay terperanjat mendengar suara seseorang dari dalam rumah. Meski jarang mendengar, tentu Jay tahu siapa pemilik suara itu.

"Papa? Kok ada di rumah?"
Jay rasa, semalam dia pulang cukup larut tapi tidak ada siapa-siapa di rumah. Jadi kapan papanya pulang? Apa barusan, lalu ayahnya yang bicara dengan petugas mobil derek?

"Loh, ini kan rumah papa. Nggak boleh papa di sini?"

Maksud Jay bukan begitu, tapi dia juga urung menjelaskan. Tidak penting.

"Mama nggak pulang juga?"

Lawan bicaranya menggeleng dan Jay tidak perlu menebak lagi walau dia masih berdiri di tempat yang sama, mendengar ucapan ayahnya yang terasa tidak pernah berubah.

"Mama sama papa nggak sempat selalu di rumah, Jay. Kemarin mama berangkat ke Batam, terus papa pulang buat ambil berkas yang ketinggalan."

Ya, memangnya Jay berharap apa? Terlalu lelah dia membayangkan hal-hal rumit yang seharusnya menjadi sederhana bagi oranglain, lagi-lagi dia menjejalkan pemahaman pada diri sendiri kalau dinamika kehidupan yang dia punya mungkin sedikit berbeda.

Tidak masalah, pagi ini Jay haya berharap mie instannya masih tersisa.

Namun harapan kecilnya juga tidak menjadi kenyataan ketika dia berjalan cuek ke arah dapur dan menemukan lemari diatasnya tidak menyimpan mie instan satu pun.

"Nyari apa?" Tanya sang ayah yang tau-tau sudah berdiri di belakangnya.

"Mie instan aku, kayaknya abis." Jawab Jay tanpa menoleh ke belakang.

"Beli makanan di luar ajalah." ujar ayahnya lagi.
"Atau minta mbak masakin."

Jay menggeleng kecil sebagai tanggapan.
"keburu mati kalau nunggu mbak."

Mbak, yang mereka sebut adalah pekerja di rumah mereka. Biasanya datang siang hanya untuk bersih-bersih, tidak utuk tugas rumah lainnya. Lalu pulang setelah pekerjaannya selesai, bukan karena mereka tidak mampu mempekerjakan asisten rumah tangga yang siap dua puluh empat jam. Tapi Jay bukanlah orang yang nyaman ada orang asing di rumah.

Tidak ada alasan khusus, dia hanya merasa kalau nyaman mudah ditemukan bila sendiri.

"Aku order makanan aja." ucapnya lagi, lalu berniat membuat susu digin saja terlanjur sudah turun ke dapur.

Ayahnya mengangguk, lalu bergerak menuju pantri untuk membuat segelas kopi.
"Nanti papa pergi lagi."

Jay tidak punya respon lain selain mengangguk kecil, pantas saja ayahnya sudah rapi sepagi ini. Ah, di meja makan tadi juga ada ransel kecil. Sudah siap pergi ternyata.

"Terserah papa aja."

Seterbiasa itu Jay tanpa kehadiran mereka, sekarang mungkin wajar saja orangtuanya jarang di rumah. Nanti ketika dia sudah dewasa, gantian dia yang tidak punya waktu untuk orangtuanua.

Tapi ... Kapan jelasnya mereka punya waktu bersama jika tidak disisihkan?

Rasanya dinamika mereka terus begini; berjalan namun tidak pernah beriringan, hidup namun jarang bersama, mereka hanya terus berjalan di jalan masing-masing meski Jay sudah kelewat paham kalau definisi keluarga bukan selalu bersama. Namun salah satu komponennya ada juga kebersamaan dan komunikasi di dalamnya.

"Pa." Panggil Jay spontan, rasanya sedikit banyak dia memang harus mulai bertanya ketimbang hanya mengijinkan waktu bekerja sendiri padanya, pada ayah dan ibunya.

Ayahnya yang merasa dipanggil, berhenti menyesap kopi di cangkirnya.
"Kenapa, Jay?"

"Mama kenapa nggak mau pulang?"

Dari tempatnya, Jay bisa melihat ayahnya terdiam. Kemudian mulutnya hendak terbuka, namun ditutupnya lagi.
"Siapa yang bilang nggak mau pulang? Dari dulu kamu, kan, tau papa sama mama nggak bisa selalu di rumah. Mama punya kerjaan yang nggak bisa ditinggal, papa juga sama."

Pada akhirnya Jay mengangguk saja walau dia tidak bodoh untuk menyadari situasi. Selama ini, mama bahkan hanya terhitung beberapa kali pulang ke rumah; frekuensinya lebih sedikit dari papa dan beberapa kali kedua orangtuanya bersama, Jay tahu mereka bertengkar walaupun kedua orangtuanya bukan jenis yang bertengkar dengan penuh emosi, tapi Jay tahu.

Kadang mereka berdebat dengan suara kecil di halaman belakamg, kadang saling menunjuk di balkon kamar. Dan semua itu dilakukan mereka dengan suara rendah walau penuh penekanan dan makian tajam, bahkan Jay pernah melihat kedua orangtuanya bertengkar dengan televisi memutar film romantis, lalu paginya Jay akan melihat kedua orangtuanya bergandengan menuju mobil untuk pergi dengan alasan perjalanan bisnis.

Padahal saat yang bersamaan, Jay tahu mereka sedang menyuguhkan fatamorgana.

"Iya deh. Aku cuma mau bilang kalau bukan anak kecil lagi, papa sama mama nggak seharusnya nyembunyiin apa-apa." tutur Jay, stelah itu dia beranjak meninggalkan susu dingin di meja makan.

"Jay cari makan dulu, kalau papa mau pergi, pergi aja." Katanya lagi setelah yakin kalau ayahnya bisa mengurus keperluan sendiri.

Dia berlari sebentar ke lantai atas, lalau menyambar jaket tebal sebagai pelapis kaus hitam serta bawahan celana piama kotak-kotak untuk menembus udara pagi.

Setelah itu, Jay kembali ke lantai bawah dan beranjak menuju bagasi untuk mengeluarkan motornya dari sana.

Hari ini Jay agak merindukan masa kecil ketima dia sering naik motor dengan ayahnya, mereka akan berboncengan mengelilingi komplek dengan Jay yang menggunakan helm bermotif semangka.

Tangan Jay bergerak membuka pagar rumah, dan berhenti sebentar untuk mengeluarkan ponsel dari saku celana. Jari-jarinya bergerak lincah mencari kontak seseorang, lalu menekan tombol dial setelah nama Satrio muncul.

"Di mana?" adalah pertanyaan pertama yang meluncur dari mulut Jay setelah telepon tersambung.

"Ya menurut lo, jam segini orang-orang udah di mana?"

Jay bisa mendengar suara serak Satrio menggema. Pasti baru bangun, pikirnya.

"Ya sapatau, kan, udah macul di sawah." balas Jay lagi diiringi kekehan.

"Kenapa, emang?" Tanya Satrio mengalihkan pembicaraan, Jay bisa menebak kalau Satrio sedang berjalan dan kemudian terdengar membuka pintu.

"Cari makan, ayok."

Hening cukup lama, tidak biasanya.

"Bentar lagi gue mau ketemu Anin, tapi ayo ajalah. Pergi bertiga juga nggak apa-apa." Jelas Satrio panjang lebar.

Jay yang tidak enak hati, walaupun Anin juga temannya. Tapi, kan, masa jadi nyamuk?

"Nggak deh, gue cuma nawarin aja kok." kata Jay yang dibalas hmm oleh Satrio sebelum memutus panggilan.

Sekarang giliran Jay yang menghela napas, merutuki pergaulan yang hanya berputar di orang-orang yang sama sepanjang waktu, sementara oranglain juga punya dunia yang tidak ada dia di dalamnya.

Ujung-ujungnya merecoki J bersaudara adalah pilihannya. Tidak apa-apa, Jefry tidak pernah marah walau Jay sudah seperti jelangkung; datang tak diundang, menjarah lagi.

Apalagi Jake, belakangan ini mereka sering punya mood yang sama untuk menistai Jefry.

Tanpa banyak berpikir lagi, Jay melajukan motornya menuju apartemen Jefry, melupakan ucapannya semalam yang berkata lebih baik di rumah sendiri.

Nyatanya hanya bangunan, tidak pernah terasa benar-benar nyaman tanpa ada kehangatan di dalamnya.

***

Mata Air GurunWhere stories live. Discover now