Chapter 26.

719 108 4
                                    

"Jay jangan main-main!" Seru Jake. Pasalnya dari tadi sepupunya itu terus mengomentari caranya menyetir.

"Santai dong, nggak usah sampe tegang gitulah."

Jake diam; berusaha memberi pemakluman atas sikap Jay yang seolah akhlaknya sudah habis terkikis.

"Yampun Jake, urat lo sampe keliatan." Lanjut Jay lagi, lengkap dengan tawa keras diakhir kalimat. Mentang-mentang Jake tidak mau meladeni!

"Bisa diem nggak!" Seru Jake kesal, tangannya gatal sekali mau menggeplak tangan Jay yang terbalut kasa.

"Gak bisa. Mana ada sejarahnya Jay diem."

Benar. Jake juga mengakuinya, tapi kali ini dia benar-benar butuh pengertian.
"Nanti aku suruh Alto mukulin kamu lagi!" Ucap Jake, kali ini tindakannya tepat, karena Jay betulan diam. Entah apa masalahnya dengan Alto.

Melihat Jay tidak memberi rekasi, akhirnya Jake berdeham. Matanya berpendar lurus menatap jalanan.
"Kalian ada masalah apa? Atau itu karena aku nggak mau kasi jawaban tugas?"

Jay menggeleng.
"Bukan. Emang dia yang keturunan setan, belum aja gue jait mulutnya." Kesal Jay, emosinya masih tersisa untuk mengamuk.

Jake mengangguk, sebenarnya tidak perlu bertanya. Karena dia juga mendengar semua hal yang Alto katakan tentang Jay.

"Jay ..." Panggil Jake pelan, spontan mendapat perhatian sepenuhnya dari Jay.

"Hm?"

Jake tidak langsung menjawab, sampai-sampai Jay harus menoleh; mengubah posisinya yang tadi seperti sedang makan di warteg.
"Kenapa manggil-manggil pangeran?"

Jake mendengkus kesal, namun tidak berniat membalas ucapan tidak berguna dari Jay.
"Lo harusnya tau, dengerin kata-kata oranglain dan menganggap kalau hal itu harus dilaksanain atau ngebuat lo ngerasa kecil, sama aja kayak lo ngebunuh diri pelan-pela."

Orang cuma liat gimana kamu tertawa, pas nangis, pas gagal atau sedih; bukannya kamu masuk kamar dan nggak ada siapa-siapa di sana?

Ingin Jake melanjutkan seperti itu, tapi kayaknya terlalu terlalu banyak bicara.

Jay nengalihkan pandangan ke luar jendela, diam-diam membenarkan dan merasa heran. Bisa-bisanya mereka selalu membicarakan hal-hal emosional di mobil; di perjalanan, tapi kali ini Jake yang menyetir dan tidak ada Satrio di antara mereka.

"Tadi lo kenapa kabur liat Satrio?"

Jake mengernyit, dia memang agak canggung bertemu tatap dengan satrio. Tapi kalau sampai kabur, ya kayaknya berlebihan.
"Kabur? Kayaknya aku emang buru-buru?"

Jay mengangguk lagi, percaya sajalah.

Sementara Jake, dia cuek saja melihat ekspresi Jay yang seakan-akan mengejek, lalu mengerem halus ketika mereka berada di depan Taman kanak-kanak; takut kalau tiba-tiba ada yang menyebrang.

Jay memperhatikan saja bagainana Jake tampak begitu hati-hati, bahkan ketika ada pengamen yang melintas di depan mereka, Jake tidak mengeluarkan sepatah katapun. Kalau Jay, mungkin dia sudah mereplay kata 'anjing' berkali-kali.

Akan tetapi, hal yang mereka tidak sadari hari itu adalah bahwa walau kita berhati-hati, tentu kesembronoan orang bukan kita yang punya kendali.

Jay tidak tahu apa yang terjadi ketika mereka hampir mendekati lampu merah, dan sabuah mobil menghantam mobil mereka dari belakang, lalu yang dia yakini adalah mereka memang berada di jalur yang benar dan Jake menginjak pedal rem sekuat tenaga, sementara tangan kirinya menahan tubuh Jay agar tidak terbentur ke depan, walau akhirnya kepala Jay tetap terbentur ke samping.

Tubuh Jay rasanya remuk, sakit di depalanya bahkan terasa lebih sakit daripada luka bekas nonjok kaca di sekolah tadi.

Meski begitu, dia masih sempat menoleh ke samping ketika mobil mereka berhenti setelah terpelanting. Di sebelahnya, dia bisa melihat Jake yang sudah tidak sadar dengan darah keluar dari mulut, dari hidung dan hampir seluruh tubuh.

Saat itu, pertama kalinya Jay menyebut nama Tuhan dalam hati, menitip rasa rindu pada kedua orangtuanya, dan membayangkan betapa menyenangkan delapan belas tahun yang sudah dia lewati dengan terseok-seok.

***

"Jef, makan dulu?"

Jefry menengadah setelah cukup lama menunduk di depan ruang ICU. Dua jam sejak operasi pemasangan pen di bahu Jake selesai, sepertinya hari sudah berganti dan subuh sudah datang.

"Di sini aja Jun, takut nanti Jake bangun terus nyeriin." Balas Jefry pelan.

Juna maklum, dia kalau di posisi Jefry juga bakalan sama. Malah rasanya Jefry bisa bersikap lebih baik; dia menghubungi orangtuanya dan orangtua Jay dengan begitu tenang, serta menjelaskan apa yang terjadi sebaik mungkin. Jefry bahkan mengatur nada suaranya agar orang-orang di seberang telepon tidak terlalu khawatir, seakan-akan dia bisa mengatasi semuanya sendiri, meski Juna masih bisa melihat kalau Jefry masih meremas telapak tangannya sendiri sampai sekarang.

"Tanda fitalnya bagus kok. Cuma ada pendarahan di dalam, Jay juga baik-baik aja." Hibur Juna, walau dia tahu dengan pasti kalau kata-katanya hanya mampu membuat Jefry mengangguk kecil.

"Thank you, Jun. Mereka bardua pasti baik-baik aja." Balas Jefry.
"Jam jagamu kayaknya udah abis, pulang aja nggak apa-apa, Jun."

"Nanggung, nunggu pagi aja pulangnya." Balas Juna. Walau matanya sudah setengah mati menahan kantuk, tetapi dia lebih memilih tetap setia kawan untuk menemani Jefry.

Tidak ada yang membuka suara lagi setelah Jefry tersenyum tipis; dia membiarkan saja Juna duduk di sebelahnya, ikut memandang pintu ICU dalam diam.

"Kayak mimpi hari ini." Ucap Jefry memulai.

Juna masih betah menatap lurus ke depan, dia mengerti maksud Jefry.
"Hal-hal kayak gini pasti terjadi Jef." balasnya, dia sendiri juga pasti akan menemui hari seperti ini; di mana dia harus menangani anggota keluarganya sendiri, itu bagian dari resiko pekerjaan.

"Tadi itu, kerja bagus!" Ucapnya lagi untuk menyemangati Jefry, dia jadi teringat bagaimana Jefry dengan tenang membantu penanganan Jake.

Jefry lagi-lagi tersenyum tipis dengan mata sayu.
"Thank you, lagi."

"Makasih muluk, sih!" Balas Juna, dokter coass dengan nama panjang Prajuna Sakti itu membalas spontan tanpa memperdulikan formalitas. Toh, jam jaga mereka sudah selesai.

Hal itu cukup membuat Jefry terkekeh pelan dan melanjutkan obrolan seputar masa SMA yang ternyata sama kacaunya.

Cerita mereka menjadi pengisi keheningan lorong ICU, kadang mereka tertawa pelan dan merasa kalau masa-masa yang sudah berlalu malah baru terasa begitu menyenangkan.

Sampai pagi menjelang, dan Juna beranjak pulang; Jefry masih di tempat yang sama, setelah berkali-kali beranjak mengintip kondisi Jake dari kaca kecil di pintu, lalu sesekali menengok kondisi Jay di ruang rawat inap.

Matanya perih, tapi bukan apa-apa. Begitu lebih baik, daripada tidur dan melepas pengawasannya barang sebentar.

Lebih daripada luka dalam atau luka pasca operasi, Jefry lebih takut Jake akan terbangun dan menyalahkan diri sendiri lagi walau dialah korbannya.

Juga tentang Jay, Jefry harus memantau keadaan anak itu. Kecelakaan yang dialami mereka tentu meninggalkan trauma, jadi Jefry tetap ingin memastikan dia baik-baik saja selain luka fsiknya.

Soal detail kejadian, mungkin Jefry bisa mengurusnya nanti. Atau bahkan ayahnya yang akan turun tangan setelah sampai.

***

Mata Air GurunWhere stories live. Discover now