Chapter 24.

583 99 3
                                    

Satu pukulan melayang di wajah Alto.

Pelakunya adalah Satrio, emosinya naik ketika hanya tinggal mereka berdua di ruang konseling yang kebetulan saat itu sepi.

"Seharusnya Jay yang ngelakuin ini." Ucapnya dingin.

Alto yang tidak terimapun menarik kerah seragam Satrio sampai satu kancing seragamnya terlepas. Dia lalu balas memukul.
"Gue nggak nyangka anjingnya Jay setia banget, dia bayar lo berapa?"

Satrio bangkit, kali ini dia tidak ingin kembali melayangkan pukulan.
"Lo itu emang nggak jelas ya, tiba-tiba cari gara-gara. Masalah lo sebenarnya apa sih, setan!"

Alto tidak serta merta membalas, dia malah menepuk-nepuk celana dengan berutal; menyingkirkan debu yang menempel di sana seolah itu adalah hal yang sangat kotor.
"Gue nggak tahan liat orang hidup terlalu mengandalkan uang, seolah mereka bisa ngelakuin apa aja dengan uang mereka. Sampe dapat temen juga karena banyak uang. Terlihat agak- menjijikan?"

Alto kemudian menyeringai, masih segar diingatannya Jay selalu berlalu di lorong kelas bersama senior, junior, bahkan banyak teman sekelas termasuk Satrio. Jay, terlalu kelihatan superior, namun saat-saat dimana dia sendiri, anak itu kelihatan pendiam; tidak seasik ketika dia mentraktir teman-temannya di tongkrongan.

Hal itu sanggup menbuat Alto iba, kemudian perasaan itu berubah menjadi kekesalan ketika di matanya Jay sudah persis seperti adiknya; terlalu takut sendirian, akhirnya mereka hanya dikelilingi oleh orang munafik.

"Terus urusannya sama lo, apa? Kayaknya itu urusan Jay, deh."

Alto mengernyit sambil memasang wajah tak bersalah.
"Dan apa yang gue lakuin sekarang juga urusan gue, nggak ada kaitannya sama lo!"

Setelah berkata demikian, Alto melengos pergi begitu saja. Sial, hari ini suasana hatinya jelek sekali. Setelah ini juga dia harus siap jika orangtuanya harus dipanggil ke sekolah karena sampai ada properti yang rusak. Seharusnya mungkin Jay yang akan mendapat lebih banyak masalah, tapi parahnya dia merasa harus bertanggungjawab juga.

"Dasar aneh!" Gerutu Satya ketika mendengar pintu ruang konseling ditutup dengan kasar. Setelah ini dia juga harus mengisi jurnal, mungkin juga bakalan ditanya-tanya sama guru konseling. Dasar menyebalkan.

Satrio mengusap ujung bibirnya yang terasa sakit, untung tidak sampai luka. Kata-kata Alto tadi, agak menberinya pemahan berbeda sampai bisa-bisanya dia menatap tirai konseling yang sedikit bergerak karena embusan angin.

Dia belum terlalu lama berteman dengan Jay, tapi bisa merasakan bagaimana Jay begitu loyal memperlakukan oranglain; seolah-olah memang begitu caranya berteman.

Lalu ingatannya memaksa dia mengingat apa yang sebenarnya mampu membuat mereka berteman, mampu membuatnya tidak menatap Jay seakan dia adalah saingan nomor satu dalam mencintai Anin; seperti bagaimana dia melihat Jake hari ini.

Alto bilang, caranya tidak menyukai tindakan Jay bukanlah urusannya. Dia sendiri juga bilang tindakan Jay bukanlah urusan Alto. Semua tak harusnya berkaitan, lalu kenapa dia melibatkan Jake dalam kisah yang anak itu tidak ketahui sama sekali.

Kenapa dia tidak mengerti kalau amarah, rasa benci dan emosi seseorang adalah sesuatu yang tidak bisa kita kontrol?

Satrio terus memikirkan itu, bahkan ketika dia berjalan di lorong kelas untuk berhadapan dengan Anin.

"Gimana Jay?" adalah pertanyaan yang  Satrio dapatkan ketika mereka bertemu tatap. Namun anehnya Satrio tidak merasa marah, dia malah diam-diam mengagumi mata cerah milik Anin dan lagi, bagaimana anak rambut Anin yang keluar dari jalur sebenarnya membuat Satrio ingin menyentuhnya.

Mata Air GurunNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ