Chapter 03.

850 141 6
                                    

Hari yang panjang dengan banyak hal baru. Jake pikir sekolah barunya tidak terlalu buruk selain teman-teman sekelas yang sering menggunakan istilah asing. Asing menurut Jake, sih.

Tapi syukurlah dia bisa mengandalkan Jay untuk menjadi penerjemah, kadang juga Satrio yang suka nyeletuk.

Tidak apa-apa, Satrio sangat membantu. Dia membantu semua hal yang Jake harus lakukan, termasuk mendaftar ke extracurricular. Akhirnya dia bergabung dengan club padus atas usulan Jay, tentu saja.

Jake tidak masalah, sebelumnya dia pernah bergabung dengan club orchestra sekolah. Lagipula Jay bilang, mereka hanya diperlukan untuk bernyayi ketika upacara atau kemungkinan kecil juga bisa tampil untuk acara-acara besar sekolah.

Sempurna, Jake rasa kehidupan barunya di sekolah akan tenang karena dia hanya perlu belajar dan bernapas.

Oh, mungkin juga makan. Di sekolah banyak makanan enak, apalagi nasi yang warnanya kuning ... Jake Suka!
Terima kasih atas rekomendasi dari Satrio, dia jadi tahu esksistensi makanan itu.

Ibunya sering sih, masak makanan Indonesia. Bahkan hampir selalu, tapi dia tidak pernah tau ada makanan yang namanya nasi kuning.

Sibuk menghayal tentang nasi kuning, Jake hampir menjatuhkan mug di tangannya ketika seseorang tiba-tiba masuk ke apartement dan melempar tas.

Jake berbalik dari counter dapur yang terhubung dengan ruang tamu, lalu disuguhi cengiran tak berdosa dari Jefry. Tampilan abangnya itu cukup berantakan dengan kemeja pastel yang kusut di sana-sini.
"Eh maaf. Kebiasaan"

Agaknya Jefry lupa kalau sekarang ada penghuni lain di apartemet.

"Pulang-pulang ngagetin!" Dumal Jake sambil tangannya bergerak menyeduh air panas ke dalam mug.

Jefry terkekeh, dia bergerak untuk duduk di meja makan mini milik mereka.
"Ya maap. Gimana sekolah?"
Dokter coass itu tampak lelah dengan wajah sayunya.

Jake meletakkan mug di atas meja, dia sedikit nengingat apa saja yang terjadi hari ini.
"Baik, semua berjalan lancar tapi juga nggak ada yang terlalu special."

Bagian yang Jake suka hari ini hanya ketika jam istirahat, dia suka sistem kantin di sekolahnya. Rasanya seperti bebas mau makan apa, apalagi menunya banyak ... Cuma ya, desak-desakan sama siswa lain.

Tetapi tidak apa-apa sih, begitulah situasinya. Jake tahu kalau dirinyalah yang harus menyesuaikan.

"Aku udah dapat semua atribut sekolah."

Jefry mengangguk paham. Dia terdiam sebentar, hanya untuk melihat kebiasaan Jake yang akan memegang sisi lain mug daripada gagangnya ketika meminum sesuatu.

Tidak banyak berubah. Walaupun keduanya hanya sebentar menghabiskan waktu untuk tumbuh bersama, tetapi Jefry masih ingat semua kebiasaan adiknya itu.

Setelah ini dia juga yakin akan menemukan baju kotor bertebaran di atas kasur Jake.

"Bagus ... Semoga betah di sini, awas aja nanti belum kelar semester udah minta pindah."

Jake mendengkus sebal mendengar ucapan Jefry.
"Nggak akan."
Dia selalu punya prinsip untuk menyelesaikan apa yang dia mulai.

Sebenarnya Jefry juga percaya, diam-diam dia juga berharap Jake akan betah dan bisa menghabiskan masa sekolah menengahnya dengan baik di sini.
"Oke then, I'll mark your words!"

Bodo amatlah, Jake kadang agak risih dengan perlakuan orang di sekitarnya yang sedikit berlebihan. Jadi Jake tidak memperdulikan ucapan Jefry, lebih baik dia membuat makan malam 'kan.

"Mending abang mandi aja sana!" ucapnya sambil beranjak dari duduk, niatnya ingin membuka kulkas untuk melihat bahan makanan.

"Bener juga."
Jefry ikut beranjak. Mungkin lebih baik kalau dia mandi dulu.
"Badan abang udah bau IGD." katanya sebelum benar-benar hilang dibalik pintu kamar.

Sementara Jake ingin sekali membanting pintu kulkas sekuat tenaga, bahkan sebutir telur pun tidak ada di sana. Dia baru sadar kalau Jefry seharian berada di rumah sakit, sementara dia sendiri sekolah. Memangnya siapa yang sudah belanja.

Kalau saja ada mama, mungkin hidup bisa terasa lebih mudah; tidak perlu makan oat untuk menu makan malam.

Namanya juga dinamika kehidupan, bisa saja dibuat resah cuma perkara menu makan malam. Jake saksinya.
Sementara Satrio, dia tidak perlu nerasa kesusahan-

"Sya, buatin nasi goreng sana!"

-dia punya adik untuk 'diperbudak.'

"Apaan sih, anjir. Buat sendiri lah."
Walaupun tidak selamanya mudah. Kadang, kakak-beradik yang satu ini hampir baku hantam hanya untuk hal sepele.

Menurut Satrio, Tisya sekarang makin memberontak seiring adiknya itu tumbuh dewasa. Kadang namanya saja bisa berubah jadi anjir, seperti barusan.

"Ya gue mana bisa masak, sih!"

"Ya makanya belajar!"

Baiklah, Satrio tidak punya pembelaan lagi. Mungkin nanti sajalah, tunggu ayah-ibu mereka pulang baru makan.

Satrio sudah siap untuk menghela napas kasar ketika dia melihat Tisya bangkit dari rebahan di atas sofa depan TV, lalu berenjak ke arah dapur sambil menghentakkan kaki.

Seriusan, sebenarnya Tisya tidak rela lahir batin. Tapi tidak tahu juga kenapa dia mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat nasi goreng, rasanya dia bersalah saja jika tidak mengerjakan apa yang Satrio minta.

"Dasar tsundere." komentar Satrio, tentu saja dengan suara pelan.

Dia mendekat ke dapur, berniat membantu tetapi dia tidak bisa untuk tidak terganggu ketika melihat Tisya sudah menghidupkan kompor lalu meletakkan wajan di atasnya, sementara semua bahan belum selesai disiapkan.

Apa kompornya tidak akan meledak duluan?

"Harusnya lo potong semua bahan-bahannya dulu Sya, baru nyalain kompor. Kalau kayak gini nanti wajannya udah kepanasan duluan."

Tisya yang merasa risih oleh kalimat beruntun dari Satrio mulai kesal, dia berdecak sebentar. Inilah kenapa dia tidak suka disuruh-suruh oleh Satrio. Malahnya dia akan lebih dari disuruh-suruh, tapi juga bakalan cerewetin.
"Ini apinya kecil kok." bantahnya masih dengan kesabaran.

"Tapi-"

"Diem di situ!" Potong Tisya, tangannya menunjuk meja makan dengan pisau di tangan.
"Lama-lama gue goreng juga lo!"

Agak horror, jadi Satrio mau tidak mau menurut. Sebenarnya Tisya tidak pernah membakar dapur atau semacamnya yang berbahaya sih, cuma Satrio akan selalu merasa tidak nyaman saja kalau sesuatu dikerjakan tanpa prosedur yang seharusnya.

"Management waktu lo jelek banget!" katanya sambil menoyor kepala Tisya lalu kabur secepatnya.

Mungkin memang menunggu tanpa berkomentar apa-apa, lalu makan dengan tenang ketika masakan selesai adalah pilihan paling bijaksana saat ini.

Ah lebih baik juga kalau menunggu sambil main game; kebiasaan Satrio sekali, tapi sebelum itu, jari-jarinya bergerak untuk membuka media sosial.

Hal pertama yang satrio lihat adalah postingan Jay.

"Maaf kawan, kemarin lupa dikasi makan. Untung nggak mati lu"

Kira-kira begitulah bunyi caption dari ungahan photo ikan cupang milik Jay.

Satu orang lagi yang membuat Satrio heran; kok, bisa-bisanya Jay hidup aman sentosa dengan segala hal yang dia lupakan dan tiba-tiba kerjakan. Apalagi, tidak ada yang akan ribut mengingatkan kalau-kalau dia lupa mematikan kompor atau sekedar lupa mencabut charger ponsel yang kadang ditinggal dalam keadaan menggantung begitu saja.

Satrio berpikir sebentar, lalu jari-jarinya bergerak lagi untuk mengetik pesan kepada Jay.

"Jay, ayok mabar. Kalau nolak lo cupu sih!"

***

Mata Air GurunWhere stories live. Discover now