Chapter 15.

648 105 0
                                    

Ada banyak hal dalam hidupnya yang Jake tidak pernah duga atau prediksi. Terlepas dari segala masalahnya, berada di keramaian sehari setelah keluar dari UGD adalah salah satunya.

Daripada menganggap Jefry aneh karena mengizinkan, Jake lebih heran pada dirinya sendiri yang dengan kerelaan mengikuti langkah kaki Jay dan Satrio yang sebetulnya tidak terlalu menikmati suasana.

Jake akui, seumur hidupnya dia tidak pernah datang ke konser musik, tapi hari ini dia benar-benar datang. Bersama Jay dan Satrio, seolah mereka ditakdirkan berteman hanya bertiga.

Awalnya Jake mengira dirinya bisa pingsan kapan saja ditengah sesak lautan manusia yang berkeringat,  tetapi kenyataannya tidak; dia baik-baik saja sampai saat ini, bahkan ketika Pamungkas membawakan kenangan manis, Jake tanpa sadar juga ikut mengangkat tangan mengikuti orang-orang di sana, ikut bernyanyi dan bersenang-senang seolah mereka semua tidak mengenal beban.

Satu hal lagi yang Jay sukai selain balai baca, yaitu keramaian. Harusnya Jake tidak heran, mengingat betapa ramainya dia.

Yang patut dia pertanyakan adalah Satrio. Bisa-bisanya dia berada di sini.

"Anjir, sendal gue mau ilang!" Celetuk Jay diiringi tawa.

Satu lagi, mereka pergi ke konser menggunakan sandal. Meski bukan sandal rumahan yang bisa terlepas kapan saja, tapi Satrio pikir kenapa tidak menggunakan Sepatu?

"Lagian aneh banget, kok kita pake sendal?" ucap Satrio menyuarakan isi hatinya.

Tidak jauh berbeda dari Jake. Dia juga merutuki diri dalam diam.
"Saran Jay memang jarang banget berguna!"

Yang dikatai menoleh protes tetapi tidak bisa berbuat banyak, karena dia masih memegang kemudi; seperti biasa.
"Siapa suruh lo berdua ngikutin gue, dibilang tadi gue buru-buru."

Ya mereka berdua mana tahu, mereka 'kan tidak pernah datang ke konser. Mana tahu kalau misalnya pakai sendal adalah dress codenya.

"Kenapa berenti?" Tanya Jake spontan ketika sadar kalau Jay memarkirkan mobilnya tiba-tiba.

"Turun dulu." Jawab Jay, lalu turun begitu saja diikuti Satrio.

Menyisakan Jake yang merasa dianak tirikan, sumpah. Kemana-mana, selalu dia sendiri yang harus bingung; mereka berada di mana? Mau melakukan apa?

Baru saja Jake hendak protes ketika keluar dari mobik, tapi diurungkannya ketika melihat suasana sekitar.

Dia kaget, sekaligus senang. Sepertinya mereka sedang berada di pasar malam? Atau mungkin lebih tepat kalau disebut pasar kuliner, karena Jake bisa melihat banyak gerobak makanan berjejer di depannya.

"Jake, Ayo!"

Jake mengerjap ketika suara Satrio masuk ke pendengarannya, dia baru sadar kalau ketinggalan agak jauh lalu  cepat-cepat menyusul.

"Perlu gue gandeng tangan lo?" Tanya Jay setengah serius. Jujur, melihat tingkah Jake, dia khawatir anak itu benaran bisa hilang di pasar.

"Omong kosong dari dusun mana itu?" Celetuk Jake, menirukan ucapan Jay biasanya lalu memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan berlalu mendahului.

Satrio tertawa, kelewat senang melihat Jake begitu.
"Didikan lo, tuh."

Jay mencebik dan beranjak mengikuti Jake, sebelum anak itu betulan hilang. Menyisakan Satrio yang berjalan di belakang, dia sudah tau kalau Jay akan mengajak mereka hangout ke sini.

Satrio suka tempat ini, dia bisa melihat senyum ramah khas penjual jajanan. Rasanya dia bisa lebih akrab dengan senyum seperti yang mereka punya daripada senyum ramah pramusaji di tempat-tempat elit.

Tidak tahu juga kenapa, mungkin juga karena sisi emosionalnya terlalu sensitif ketika melihat oranglain tersentum apa-adanya tanpa tuntutan profesi.

"Pinjem uang gue dulu, kalau nggak punya pecahan uang kecil!"

"Emangnya kenapa sih, biarin lah. Uang siapa, yang ribet siapa!"

Gantian sekarang, Satrio yang menjadi penonton keributan Jay serta Jake.

"Kenapa 'sih?" Tanya Satrio akhirnya, dia membuat langkah lebar untuk menyusul Jay serta Jake yang tampak memegang sesuatu di tangannya.

Jay melengos. "Liat ni anak, beli keripik harga dua ratus ribu."

"Kok bisa?" Tanya Satrio agak heboh.

"Bapaknya nggak punya kembalian, jadi aku kasi aja uangnya." Jelas Jake dengan ringan, dia rasa tidak ada yang salah dengan tindakannya.

"Ya kenapa dikasi dua ratus?"

"Nggak apa-apa, kata bapaknya aku pelanggan pertama jadi aku dikasi lebih." Jawab Jake lagi seraya mengangkat kecil kantung pelastik di tangannya.
"Karena bapaknya kasi lebih, aku juga kasi lebih." lanjutnya lagi.

Dia senang melakukan itu, dan bapak penjual keripik juga terlihat senang sampai menyalaminya. Jake baru tahu kalau dua ratus ribu bisa membuat oranglain sampai terharu, besok-besok di hari berikutnya dia berjanji akan lebih menghargai uang dan kebahagian-kebahagian sederhana yang didapat hanya karena berbagi hal kecil.

Jay tidak bisa berkata-kata lagi, Satrio pun sama. Jake jelas tidak akan berada dalam masalah melakukan itu, dompetnya bahkan terisi penuh seolah-olah mereka akan melakukan perjalanan ke Mesir.

Jay juga dirinya pun sebetulnya bisa melakukan itu, hanya saja mereka lebih pandai mengatur keuangan dan tentu sudah akrab dengan mata uang. Tidak seperti Jake yang kadang masih bingung membedakan pecahan uang dua puluh ribu dan dua ribu.

"Udahlah, berhenti ngomongin sesuatu yang ngebuat jiwa miskin gue ngamuk." Dusta Jay, sampai-sampai membuat Satrio ingin melempar sendalnya ke arah Jay.

Karena pada akhirnya, Jay menghabiskan sekitar dua ratus ribu untuk berbagai macam makanan dari angkringan.

Sementara Satrio tidak tahu mau membeli apa lagi, Jadi dia hanya berpartisipasi membeli air mineral.

"Kayaknya bakal lebih seru kalau kita ngelakuin perjalanan ke luar kota, atau nginap di rimba." Celetuk Jay ketika mereka bertiga sudah bersiap untuk pergi.

Jam tangannya sudah menunjukan lewat pukul sembilan, tapi sepertinya malam liburan mereka masih panjang karena belum tau mau makan di mana. Satrio yang bebas di bangku belakang 'sih, sudah makan dengan hikmat dari tadi.

"Jake nggak apa-apa makan ini?" Tanya Satrio seraya mengangkat sosis yang ditusuk dengan lidi di tangannya, dia agak hati-hati; takut kecap di atasnya menetes kemana-mana.

"Nggak apa-apa, memangnya kenapa?"

"Mengada-ngada!" Sela Jay. "Nggak ingat ya, kemarin lo hampir sakratul maut?" lanjutnya berlebihan.

Jake yang mendengar itu menghela napas lelah, apanya yang sakratul maut 'sih?
"Nggak ingat ya? Siapa yang maksa aku ikut pergi? Berarti udah nggak apa-apa!"

Seakan belum puas berkata panjang lebar, Jake kembali berucap.
"Nanti kalau dimarahin bang Jefry, biar kita bertiga yang tanggung. Seenggaknya aku nggak akan dimarahin sendiri."

Sampai detik ini, cara Jake bicara rasanya masih mengganggu Jay. Selain dia terus menyebut dirinya 'aku,' menyebut lawan bicaranya 'kamu,' hal lain yang menyebalkan adalah Jake selalu mengucapkan fakta yang membuat Jay kehabisan kata.

Satrio yang hanya diam pun ikut berpartisipasi menyebalkan, karena Jay bisa melihat dari kaca spion yang menggantung kalau Satrio menatapnya tajam seolah berkata: Elo sih!

***

Mata Air Gurunحيث تعيش القصص. اكتشف الآن