6. Bertengkar

1.9K 261 53
                                    

"Papah teh yakin mau antar si Aa mondok?" Kinara memilin ujung selimut dengan gusar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Papah teh yakin mau antar si Aa mondok?" Kinara memilin ujung selimut dengan gusar.

Bagus sempat terdiam beberapa detik dalam baringnya sebelum menjawab, "kenapa, Mah?"

Kinara mengeluarkan debas. Ia beringsut merebahkan diri menghadap sang suami. Ada keluh yang berusaha ia sampaikan.

"Mamah kenapa?" tanya Bagus lagi dengan nada rendah. Kini jemarinya ikut andil mengusap pipi wanita itu.

"Dandi kayanya nggak suka sama pilihan kita."

"Ya terus?" Bagus memajukan diri, memeluk pinggang Kinara cukup erat . "Kan kita udah pernah bahas ini, Geulis."

"Mamah teh takut kalau dipaksa, malah nimbulin masalah."

"Masalah maksudnya?"

"Bisa aja 'kan, karena nggak nyaman di sana si Aa kabur terus nggak pulang-pulang." Kinara mengaku ini sedikit berlebihan. Namun, pemikiran ini benar-benar mengganggunya.

Bagus tersenyum hangat. Melepas pelukan lalu meluruskan tatap pada lampu yang menempel di plafon. "Dandi teh 'kan udah besar. Harusnya udah bisa memilah mana yang baik sama mana yang buruk. Kalau pun memang yang Mamah pikirin terjadi, itu mah memang resiko kita. Berarti kita yang gagal didik Dandi jadi anak saleh."

Kinara menatap pahatan wajah tegas Bagus dengan penuh rasa kagum. Entah hendak berapa kali ucapan syukur ia hadiahkan pada Tuhan sebab telah memberinya imam seperti laki-laki di sampingnya ini.

"Seperti sabda Rasul; pelukis akan mendapat siksa yang teramat pedih kelak di akhirat. Memang Mamah mau dukung anak kita masuk neraka?" Bagus menoleh lalu tersenyum jenaka.

"Ih, naudzubillah, amit-amit atuh, Papah. Ih si Papah mah."

Laki-laki berkumis tipis itu terkekeh lalu memeluk wanita cantiknya dengan erat. Sesekali mencium pucuk kepala Kinara sambil berkata, "udah, jangan dibahas lagi. Keputusan Papah udah bulat. Pengin lihat si Aa membesarkan agama Islam."

***

Bel istirahat baru saja berbunyi. Bayu buru-buru memasukkan buku ke laci tanpa menutupnya terlebih dahulu. Melihat itu Dandi hanya mengulas senyum tipis. Walau kurus, Bayu itu mudah lapar. Tak seperti dirinya yang makan kalau ingat saja.

"Ayo atuh, Dan. Laper ini," desak Ubay. Cowok itu sudah berdiri menunggu Dandi selesai dengan beres-beresnya.

"Maneh sendiri aja, lagi nggak pengen makan." Dandi pun mulai membuka buku tulis yang ia beli spesial untuk melukis. Pikirannya masih runyam. Mungkin membentuk pola di atas kertas bisa sedikit mengobati.

"Mana bisa gitu." Ubay kembali duduk lalu memegang lengan kurus Dandi. "Kamu teh lupa kalau kita terbiasa bersama?"

'Kambuh,' batinnya.

"Aku selalu nemenin kamu ngising. Menghirup gas yang dihasilkan oleh taimu. Aku bahkan bisa mendengar paru-paruku berteriak minta ampun. Namun, ini kah balasannya?" ujar Ubay lagi sambil bergelayut manja di pundak Dandi.

Jujur, Dandi malu. Kelas belum sepenuhnya kosong. Masih ada beberapa siswa yang memilih menetap. Entah karena tak lapar, tak punya uang atau tak enak hati, seperti dirinya.

"Anjeun gélo. Di ditu, tong ribut," ujar Dandi sedikit menyentak bahu agar pegangan Ubay lekas mengendur.
(Gila kamu. Udah sana, jangan ribut)

Cowok beralis tebal itu akhirnya menyerah. Memasang raut kesal kemudian berdiri. Sebenarnya paham atas apa yang Dandi rasakan.

"Ya udah, Dilan ke kantin sendiri. Jangan kangen," ujarnya dan berlalu.

Lagi-lagi Dandi menggeleng kecil. Bibir ranumnya mengulas senyum tipis. Ubay terlalu absurd untuk dirinya yang tak suka banyak bicara. Sebenarnya tak masalah, hanya saja, gilanya jadi tidak totalitas.

Dandi menyapu pandang ke sekitar. Ternyata kelas sudah sepi. Hanya ada dirinya dan dua cewek berhijab di kursi bagian depan. Cowok itu mengeluarkan debas. Jemarinya mulai bergerak membentuk pola di atas kertas. Tak ada senyuman lagi. Tersisa raut kecewa yang sejak kemarin berusaha ia tutupi.

Tarikan napas yang diembuskan dengan resah sejenak mengisi keheningan. Bahkan pola yang ia buat pun tak semenarik biasanya. Dandi sempat bingung dengan dirinya sendiri.

Sampai dering gawai di saku menghentikan kegiatannya. Cowok itu lekas menggulir layar, menampilkan ruang pesan seseorang.

Dira
"A, nanti aku mau pergi hangout bareng temen-temen. Nggak mau pulang, nanti nggak diizinin Papah. Tolong anterin, ya. Dira tunggu di sekolah."

Ada kesal yang semakin mendera hatinya. Adiknya itu sudah tidak bisa diberi nasihat baik-baik. Dandi lekas mengetikkan balasan.

"Ndak. Kalau mau dijemput ya harus pulang."

"Ih, nggak bisa gitu. Dira udah janji sama temen."

"Ya udah, minta jemput temen kamu."

"Duit Dira abis, A."

"Oh, minta anter Aa sambil minta saku?"

"Iya."

Entah sudah seperti apa emosi Dandi saat ini. Bolak-balik cowok itu menghela napas. Rasanya hendak marah, tapi dia tak bisa. Seumur hidup ia tak pernah kasar kata maupun kelakuan pada Dira.

"Ra, Aa capek bilangin kamu ini-itu. Selalu diabaikan. Sekarang 'kan kamu udah besar. Udah pacaran juga. Ya udah, pikir jalan keluarnya sendiri. Kalau Aa yang jemput, kita pulang. Kalau temen kamu yang jemput, pamit sendiri ke Mamah."

Cukup lama Dandi menunggu balasan Dira. Entah tersinggung atau bagaimana, Dandi tak peduli. Kini harapnya hanya satu. Gadis itu bisa mengerti apa arti ucapannya.

"Kalau nggak bisa bantu, bilang terus terang aja. Nggak usah kaya gitu."

Dandi terkekeh sumbang. Selalu seperti ini. Tak berapa lama, notifikasi kembali terdengar.

"Jangan sok suci. Kaya ndak pernah muda aja."

-Dying Dream -

Dying DreamWhere stories live. Discover now