24. Tak dihargai

1.2K 211 34
                                    

Sepertinya hari-hari Dandi akan terus seperti ini. Monoton. Hanya bergulat dengan rumah, sekolah, dan masjid. Tak ada lagi me time dengan Ubay sambil bermain gitar di tempat tongkrongan biasa, apalagi lagi menggambar. Waktunya benar-benar habis untuk mengikuti apa yang Kinara dan Bagus perintah. Walau jelas, semua atas landasan keterpaksaan.

Dandi tak pernah berpikir hidupnya akan jadi se membosankan ini. Belum lagi di pondok nanti. Pasti kegiatannya akan penuh dengan belajar dan belajar. Menghafal segala hal yang menyangkut tentang Islam seperti yang orang tuanya inginkan.

Sebenarnya, jika ditelaah lebih dalam, tak ada yang salah dari keinginan Kinara dan Bagus. Hidup singkat yang Allah beri di dunia agaknya terlalu terbuang sia-sia jika hanya dipergunakan untuk hal-hal tak bermanfaat. Apalagi melukis dan bermain musik yang jelas dilarang oleh sang pencipta. Namun, cara mereka yang salah.

Dandi hanya ingin dimengerti seperti dia mengerti orang tuanya. Bisa saja mereka berbincang bersama, membahas kemauan dua belah pihak lalu mencari titik tengahnya. Akan tetapi, tidak dengan Kinara dan Bagus. Mereka hanya memikirkan kemauan mereka tanpa mendengar apa yang Dandi mau. Jadilah satu sisi terbebani. Yaitu, Dandi. Ia sampai rela mengesampingkan keinginannya demi menghindari keributan di rumah.

Seperti sore ini. Rumah sudah bersih. Beberapa galon air sudah tertata rapi di kolong meja kompor. Tak ada piring kotor apalagi sampah yang menumpuk. Dandi telah mengerjakan semuanya sejak pukul tiga tadi. Tanpa menunggu perintah dari Kinara maupun bantuan dari Dira. Ia sedang mencoba menjadi versi terbaik di mata ibunya.

"Ini kompornya kok nggak sekalian di lap sih, A?"

Baru saja duduk menyeka keringat, Kinara tiba-tiba datang sambil mengambil kain lap di atas kulkas. Dandi hanya diam. Tak tahu ingin berbuat apa. Baginya, ia sudah melakukan yang sebaik mungkin. Tidak bisa kah dihargai? Atau sekadar diberi apresiasi? Karena mau dipaksa sempurna pun, tak bisa. Sebab ia hanya seorang laki-laki yang pasti jika mengerjakan pekerjaan rumah tidak seteliti anak perempuan.

"Ini juga piringnya masih ada buihnya loh. Ya ampun."

Dandi memejamkan mata. Dadanya berdesir. Ada rasa dongkol mengganjal di ulu hati. Ingin rasanya ia buru-buru pergi keluar untuk mencari ketenangan. Sebab di sini, berusaha pun, ia tetap tak dihargai.

"Maaf, Mah."

"Udah, besok nggak usah bantu kalau pada nggak beres kaya gini, A. Toh mamah capek juga."

Dandi tak tahan, takut jika berada di sini lebih lama, ia akan kelepasan dan membantah dengan kata sarkas. Akhirnya ia pun mengambil ancang-ancang hendak beranjak.

Namun, saat mendengar suara kursi berderit, Kinara kembali berucap, "kenapa? Pundung? Jadi cowok jangan mudah tersinggung. Jadiin pelajaran buat kedepannya. Nanti kamu di pondok apa-apa serba sendiri, A."

"Tapi aku udah usaha ngerjain sebisa aku, Mah."

Padahal Dandi itu tipikal anak pendiam yang kalau sakit hati berusaha ditelan saja. Tak ingin ingin ribut, apalagi dengan orang tua. Namun, mungkin karena campur rasa lelah, ia kelepasan. Mencoba membela diri.

"Ya kamu lihat sini, semuanya masih kotor gini."

Kinara kembali memasukkan piring yang baru saja ia bilas ke dalam rak kecil.

"Iya, Mah. Maaf."

Tak ada pilihan, Dandi hanya berkata demikian untuk menyudahi perdebatan selanjutnya.

"Ya udah sana, siap-siap salat ashar. Abis sholat ikut papah ke kajian. Materinya bagus."

Dandi menghela napas saat tarikan napasnya tiba-tiba memberat. Setelah menjawab seadanya pada sang ibu, ia buru-buru menaiki tangga dan mengunci pintu. Merogoh inhaler dari saku tas kemudian menekan nya beberapa kali dalam mulut.

Dying DreamWhere stories live. Discover now