26. Gejala Depresi

1.5K 244 32
                                    

Dulu banyak murid sekolah yang bilang Dandi itu cowok idaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dulu banyak murid sekolah yang bilang Dandi itu cowok idaman. Putih, tinggi, mancung dan sedikit kurus. Rambutnya yang dicukur jenis comma hair ditambah dengan suara ngebass khas miliknya, Dandi selalu berhasil menyita perhatian saat bernyanyi sambil memetik gitar di kelas. Tampan dan berbakat, begitu lah kira-kira.

Namun, lihat lah dirinya sekarang. Dari segi fisik saja sudah terlihat jauh beda dibanding saat populer dulu. Badannya kian mengurus, bahkan kedua sisi pundak cowok itu tampak agak naik. Mungkin efek serangan sesak yang belakangan ini sering kumat tiba-tiba.

Tak ada yang Dandi rindukan dari kepopulerannya dulu selain rasa bebas. Persetan dengan pujian dan ketenaran, baginya itu hanya sebuah penghargaan kecil untuk secuil bakat yang ia punya. Tak lebih.

Miris, untuk ke sekian kalinya ia harus kalah dengan rasa patuh selayaknya anak pada umumnya. Tak banyak yang bisa Dandi lakukan selain berdiam diri di kamar sambil memegang kitab Al-Qur'an, memaksa otaknya untuk mengingat beberapa isi ayat.

Kemarin sekolah telah mengumumkan hari ujian akhir. Sekitar beberapa Minggu lagi. Yang berarti, hari kelulusan sudah di depan mata. Benar-benar lucu jika Dandi masih berharap Kinara dan Bagus mengubah keputusan mereka dan membiarkannya mengambil apa yang ia inginkan.

Well, sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain mengikut arahan dari sang pemrogram. Begitu bukan?

Sampai sebuah pemikiran singgah di hati. Apa dengan mengakhiri hidup, masalahnya akan selesai? Karena jujur, Dandi tidak sanggup jika harus melakukan semua keinginan orang tuanya dengan kondisi seperti ini. Dandi lelah menahan asma yang selalu datang mengganggu tidur malamnya hanya karena memikirkan banyak hal. Setiap hari. Jangankan melakukan aktifitas, makan saja Dandi jadi malas.

Harus begini, harus begitu. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Hidup penuh rasa takut dan keterpaksaan hanya demi menghindari kegaduhan. Mengalah malah membuat dirinya tersiksa. Tanpa ada yang tahu, Dandi nyaris gila.

Sesuatu di atas meja nakas mulai menarik perhatian. Dandi menatap lekat cutter yang biasa ia gunakan untuk mengikis pensil. Bak dihasut oleh pemikiran jahat, tangan kurusnya mulai bergerak meraih benda tersebut. Memperhatikan detil dengan tatapan kosong.

'Kamu ini anak sulung, nggak boleh lemah. Mamah sama papah naruh harapan besar di kamu.'

'Ngerti apa kamu tentang hidup? Nggak bisa apa jadi kebanggaan, sekali ... aja?'

'Lihat anak Pak Iwan, anaknya nurut banget kalau disuruh ini itu, kaya iri aja gitu liatnya.'

"Hah ...."

Dandi mencampakkan cutter itu ke arah dinding. Membuat beberapa bagiannya terlepas mencuat ke sembarang arah. Menarik rambut sambil menggigit bibir, Dandi meringkuk.

"Aku beda, aku bukan mereka ...," lirihnya pelan.

Mungkin ruangan petak nuansa abu ini sudah bosan melihat kerapuhan Dandi. Tentang Dandi yang menangis, Dandi yang kesakitan, Dandi yang terdiam berjam-jam tanpa melakukan apapun. Semua terlihat bergulat di siklus yang sama.

Tak ada pilihan. Takut jika berlama-lama seperti ini pikirannya menjadi semakin menggila, Dandi pun menyibak selimut, beringsut turun dari kasur dan menyambar kunci motor dengan cepat. Mungkin sesekali menjadi egois bukan pilihan yang buruk.

"Mau kemana, A?"

Itu suara Kinara yang sedang menyemprot beberapa tanaman di teras rumah. Sedikit heran dengan Dandi yang membuka pintu pagar tanpa permisi padanya terlebih dahulu. Raut muka anak itu juga tampak kacau. Rambutnya berantakan tanpa mengenakan jaket seperti biasa.

"Keluar bentar," jawab anak itu singkat. Buru-buru memakai helm dan menghidupkan mesin motor. Menghiraukan Kinara yang mulai mendekat dengan tergesa.

"Keluar kemana?"

Terlambat. Belum sampai menyentuh pundak sang anak, Kinara langsung terdiam saat Dandi pergi begitu saja tanpa mengucap salam. Beberapa pemikiran buruk langsung bercokol di hati. Apa yang sedang terjadi pada anak itu?

"Dira ... DIRAAA ...."

Perempuan itu pun lekas masuk dengan tergopoh-gopoh. Meletakkan semprotan pestisida ke sembarang arah. Suasana hatinya mulai tak enak. Takut terjadi sesuatu pada Dandi. Terutama dengan pergaulan anak itu.

Sedang di perjalanan, Dandi mengemudi cukup ekstrim. Menarik tali gas dengan kecepatan penuh hingga kaos oblong hitam bagian belakangnya menggelembung tak karuan. Tak ada tujuan pasti yang hendak ia kunjungi saat ini. Dandi hanya ingin melupakan segala masalahnya dengan menghirup udara segar. Tak lebih.

Tak sadar, Dandi kembali menangis. Air di sudut matanya jatuh terhantam udara. Dadanya luar biasa sesak. Bayangan wajah sangar Bagus mulai menjamahi pemikiran. Seingat Dandi, hubungannya dan Bagus memang tak pernah harmonis. Menurut beberapa orang, memang begitu lah siklus interaksi ayah dan anak sulung. Namun, tetap saja. Dandi rasa ini tidak adil.

Di saat Dira mengatakan keinginannya pasal pendidikan dan hobi, orang tuanya selalu setuju. Tak jarang Dandi memergoki ketiganya sedang bersenda gurau bahagia, tanpa dirinya. Mungkin memang benar, menjadi anak sulung harus terbiasa dengan kesendirian dan kemandirian.

Padahal dulu saat kecil, Dandi sangat ingin cepat menjadi dewasa. Pola pikirnya terlalu pendek sebab hanya memikirkan tentang kebebasan yang dipilih layaknya orang dewasa pada umumnya. Namun, ia salah. Ternyata dewasa tidak semenyenangkan itu. Menjadi dewasa benar-benar payah. Jika bisa, Dandi ingin kembali menjadi anak kecil saja, yang kalau ingin apa-apa memang harus di perintah terlebih dahulu.

Terlalu hanyut dalam luka yang menjajah akal dan pikiran, Dandi jadi tak fokus dalam menunggang kuda besinya. Entah karena ditarik terlalu kencang atau memang sudah rusak, ia merasa laju motor ini tak lagi bisa dikendalikan. Tali gasnya lengket, membuat kecepatannya tak bisa dihentikan.

Dandi panik. Mencoba berupaya sebaik mungkin untuk tetap berada di badan jalan tanpa menabrak pengemudi lain. Walau kondisi jalan terbilang lengang, tak menutup kemungkinan dirinya untuk melukai pengendara lain.

Namun, naas. Di persimpangan jalan sebuah mobil gerobak menyapa pandang. Tak ada lagi yang bisa Dandi lakukan selain mengubah jalur ke arah kiri sebagai pilihan. Dari pada ia harus mati konyol menabrak badan gerobak.

Berakhir menghantam badan pohon cukup besar, bagian depan motor matic Dandi hancur. Sementara cowok kurus itu terpelanting tiga meter menubruk pot besar terbuat dari batu yang biasa di sediakan di pinggir jalan. Darah merembes dari area dada. Dandi meringis menahan sakit dari segala sisi.

Sesekali terbatuk sambil mengubah posisi dan membuka helm. Dandi menatap sendu motor kesayangannya yang hanya sisa bagian belakang, teronggok mengenaskan. Tubuhnya sudah luar biasa lemas. Tambah nyeri dan sesak di dada. Dandi merasa mungkin hidupnya akan berakhir saat ini juga.

Dalam pekatnya kabut yang menutupi retina, Dandi dapat melihat beberapa orang mulai datang menghampiri. Ada yang mengerumuni motornya, ada pula yang menepuk-nepuk pipinya. Tak ada yang bisa Dandi lakukan selain mengerjab dan terbatuk.

"Aduh, parah banget ini. Tolong dong Pak Didi bukain mobil saya, langsung ke RS aja."

Dandi terus terbatuk. Dadanya seolah terbakar diiringi rasa pusing yang begitu menyiksa. Ia bahkan tak lagi bisa merasakan apapun selain rasa sakit dan suara berisik di sekeliling. Jangankan mengeluh, untuk membuka mata saja Dandi tak sanggup.

Sebelum kesadarannya benar-benar direnggut oleh alam bawah sadar, Dandi sempatkan meminta pada Tuhan. Jika ini adalah akhir dari segalanya, maka permudahkan lah.

Dan ... gelap.







***

Fyi Dandi udah end di KaryaKarsa, ya. Link ada di bio Rada21_myg

Dying DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang