9. Tengkar lagi

2.4K 246 54
                                    

"Nggak bisa, Bay

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nggak bisa, Bay. Maneh pergi aja, nggak papa." Dandi menuang bilasan terakhir beras dalam kubangan wastafel. Sesekali menatap layar gawai yang ia letakkan di rak gelas.

'Kamu mah nggak seru. Belakangan ini makin susah diajak ngapa-ngapain. Login aja jarang.'

"Lah kan udah aku kasih tau alasannya." Remaja yang masih mengenakan kaos oblong hitam dengan boxer pendek itu berbalik. Setelah memastikan takaran air menggunakan jemari, ia lekas memasukkan wadah hitam itu dalam rice cooker.

'Serius nggak bisa, nih?'

Dandi terkekeh kecil. Jujur, sebenarnya ia juga pengin keluar, mumpung libur. Namun, galon di pojok masih kosong minta diisi. Belum lagi perihal izin pada orang tuanya. Pasti akan sulit.

"Iya. Enakin aja."

'Ah elah, Dan. Maneh nggak ikut urang nggak ikut juga lah. Mana seru.'

Tangan Dandi terangkat lalu dientak sedikit, membiarkan air menetes jatuh dari jemari ke wastafel. Hatinya sedikit menghangat mendengar jawaban Ubay. Kata orang, ucapan Ubay tadi termasuk kasta tertinggi sebuah persahabatan.

"Haha. Udah siap-siap sana. Salam sama yang lain. Urang teh mau beli galon dulu."

'Iya, waalaikumsalam.'

Setelahnya Dandi mulai berkutat dengan dua galon kosong yang teronggok dekat lemari es. Sepertinya minggu kali ini akan habis dengan 'bersih-bersih'. Tadi niatnya hanya mencuci piring bekas sarapan. Namun, melihat dapur yang sedikit berserak, tangan cowok itu jadi gatal. Bagus 'kan? Bisa sekalian cari muka.

Sesampainya di tempat penjualan air, Dandi langsung menjadi bahan pembicaraan ibu-ibu yang sedang berkumpul di bawah pohon mangga. Beberapa bisikan bahkan sempat tertangkap indera pendengarannya. Namun, cowok itu memilih abai. Lekas membayar tagihan dan berlalu.

Hal demikian sudah lumrah terjadi. Berbagai cibiran pedas pasti selalu terdengar. Entah itu pasal pendidikannya, caranya berpakaian, teman, bahkan kegiatannya. Semua seolah salah di mata orang-orang sekitar. Mengatasnamakan kekurangan sebagai dalih kedengkian.

"Ibu tau nteu, si Ujang anak bu Salamah kemaren ketangkap polisi karena make. Heran ya sama anak jaman sekarang. Kalau nggak rusak karena hape ya rusak karena narkoba."

"Iya, tau. Anak-anak sekarang mah udah jadi beban, suka kelayapan, nyusahin orang tua lagi. Untung teh anak urang cewek. Enak ngurusnya."

Dandi masih mencoba abai. Rumahnya memang sudah terjamah pandangan, tapi entah kenapa masih terasa jauh dari jangkauan. Dalam hati merutuk, kenapa bisa bertemu dengan sekumpulan ibu-ibu ahli neraka seperti mereka.

Hanya karena dulu ia pernah dijebak hingga nyaris masuk sel akibat narkoba, sampai kini orang-orang tak berhenti mencibirnya sebagai anak berandal tak tahu aturan. Padahal kejadiannya sudah lama, waktu Dandi masih SMP. Namun, tetap saja. Olokan tak mengenakkan kerap terdengar.

"Kamu teh beli galon berapa?" tanya Kinara.

Dandi yang baru saja hendak menaiki tangga langsung berhenti dan berbalik. "Dua, Mah."

"Lah itu yang kamu bawa baru satu, Kasep. Gimana sih," ujar Kinara berniat mengingatkan.

"Iya, yang satunya ntar sore aja diambilnya."

Mendengar itu, Kinara hanya mengangguk. Ia kembali melanjutkan jahitan. "Ya udah. Nanti tolong panggilin adek ya, A."

Dandi mengangguk lalu kembali melanjutkan langkah. Semua pekerjaan sudah selesai dan Dira belum keluar kamar. Satu kebanggaan yang patut dibinasakan.

"Dir, dipanggil Mamah," ujar Dandi dengan nada rendah. Cowok itu berbicara tanpa menghentikan langkah. Mau ketuk pintu pun percuma. Malas terlibat perdebatan lagi.

"Ngapain?!"

"Dipanggil Mamah."

Ada suara dengkusan terdengar dari dalam. Dandi tersenyum lalu masuk ke kamarnya. Dira memang terbiasa dimanja. Tak seperti dirinya. Walau cowok, ia tetap dikenalkan dengan kegiatan dapur dan semacamnya.

Begitu masuk, aroma lavender langsung menguar. Membuat sensasi sejuk indera penciuman. Dandi menatap sekeliling. Pagi ini kamarnya sudah rapi. Sehabis salat subuh tadi, ia sudah beres-beres.

Bingung hendak melakukan apa, Dandi lantas mengambil buku pemberian Kinara. Bermaksud lebih serius memahami isinya. Namun, baru beberapa menit, bosan menyerang. Jangankan paham, untuk sekadar lancar membaca satu kalimat saja susah. Dandi benar-benar tidak bisa melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan keinginannya.

Sekali lagi, Dandi diserang dilema. Hendak keluar main, tidak boleh. Bermain gitar, takut dibilang berisik. Main game, tidak ada lawan. Ubay sepertinya marah. Terbukti dari pesannya yang kunjung mendapat balasan.

Tiba-tiba Dandi tersenyum saat opsi terakhir melintas di pikiran.

Melukis.

Resikonya juga tak terlalu besar. Jadi tanpa pikir panjang, ia mulai menarik laci nakas bagian bawah. Mengeluarkan kanvas beserta antek-anteknya lalu mulai menyamankan diri di kursi belajar. Dandi benar-benar rindu melukis. Sepertinya sudah nyaris seminggu ia tidak bergelut dengan kuas-kuas panjang ini.

Tak memiliki ide, Dandi mencoba melukis apa yang terlintas dalam pikirannya. Berhubung ia tengah memikirkan Ubay, akhirnya cowok itu pun menjadi objek visualisasi lukisan Dandi hari ini.

Awalnya tak ada masalah. Dandi tampak begitu bahagia dengan kegiatannya. Musik yang sengaja ia pasang terdengar memanjakan telinga. Membuat suasana kamar begitu menenangkan. Sejenak, Dandi benar-benar lupa akan masalahnya.

Sampai suara pintu yang berderit membuatnya terlonjak kaget. Di sana ada Kinara yang menggeleng kecil, siap dengan kata-kata mutiara penyejuk jiwa.

"Ngapain, A?" Wanita itu masuk. Menutup pintu terlebih dahulu kemudian berjalan, meletakkan nampan berisi susu tepat di samping kanvas Dandi.

"Nggak apa-apa, cuma bosan, Mah."

"Gini, Mamah kasih tau." Kinara mulai mendudukkan diri di sisi ranjang. Mengambil hasil lukisan Dandi yang belum sepenuhnya jadi lalu menelitinya dengan serius. "Kamu tau ndak kenapa Mamah sama Papah larang kamu ambil jurusan melukis?"

"Karena melukis itu haram?" jawab Dandi sekenanya. Sebenarnya sudah muak harus membahas ke ranah ini lagi.

"Udah tau, tah. Kenapa masih dikerjain?" tanya Kinara lembut. Perlahan, ia mulai mengoyak kanvas tadi menjadi bagian-bagian kecil. "Jangan sampai Allah lihat. Sekarang mending kamu copot yang di dinding juga."

"Astaghfirullah, Mah. Kenap-"

"Dandi, dengerin Mamah." Kinara berhasil membuat cowok itu menatap penuh ke arahnya. "Kamu mau jadi orang yang merugi?"

"Demi Allah, maksud aku ngelukis itu baik, Mah. Nggak ad-"

"Bukan masalah niat kamu, tapi masalah kaidahnya. Mamah udah beliin kamu buku tentang islam, 'kan? Semua tertulis lengkap di sana. Kamu belum baca apa memang susah paham?" tanya Kinara. Kini suaranya mulai rendah, tak selembut tadi.

"Mah, bisa nggak, sekali aja denger opini Dandi?" ujar Dandi lemah. Sudah tak tahu lagi harus berkata apa.

"Kalau opini kamu malah menjuruskan kamu ke jalan yang nggak bener, Mamah nggak mau denger."

Dandi mengeluarkan debas. "Memang Mamah bisa ngepastiin aku masuk surga kalau aku ambil jurusan dakwah?"

Kinara berdiri. "Lalu, maksud kamu pilihan Mamah ini belum tentu yang terbaik buat kamu?"

Dandi beringsut ikut berdiri. "Nggak git-"

"Udah lah, terserah. Mamah capek."

- Dying Dream -

Dying DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang