Animism//0.3.

508 77 3
                                    

-Hansell-

"Dengar ya, jika sekali lagi kau mengadu pada Zayn, aku akan mengurungmu di dalam gudang!" Ancam Deera, salah satu dari empat orang gadis yang selalu saja menggejekku.

"Dan, jangan dekati Zayn lagi! kau sama sekali tidak pantas berada disamping Zayn. Karena, kau hanyalah seorang gadis yang mengindap penyakit jiwa." Ucap Lottie tak kalah menusuk hatiku.

Keempat gadis itu pun meninggalkanku sendirian didalam kelas. Aku hanya bisa menghela napas panjang, kenapa aku selalu menderita seperti ini?

Apa aku diciptakan untuk terus menderita dan dicaci maki?

"Hansell, apa yang kau lakukan?" Suara itu ...

"Hansell" Aku pun cepat-cepat melangkahkan kakiku keluar dari kelas. Ya, aku tidak boleh bertemu ataupun pergi bersama Zayn lagi!

Namun, tanganku sudah terlebih dahulu ditahan oleh Zayn, saat aku hendak melewatinya menuju pintu keluar kelas.

"Ada apa denganmu, Hans?" Tanya Zayn, mengangkat kedua alisnya yang tebal itu naik keatas.

"Sama sekali bukan urusanmu, Z." Ucapku berusaha seketus mungkin. Walaupun, aku sendiri tidak yakin bahwa aku sedang berbicara dengan ketus.

"Kenapa tiba-tiba kau seperti ini, Hansell? kau aneh." Ujar Zayn tanpa menatapku melainkan, menatap sepatu yang ia kenakan. Huh, sepertinya sepatunya jauh lebih menarik.

"Sama sekali bukan urusanmu. Dan, tolong jangan panggil aku aneh." Aku pun melepaskan cengkeraman Zayn, dan segera berlalu pergi keluar kelas. Sepertinya, Zayn tidak menggejarku atau menghadangku lagi.

Yeah, ia sama saja dengan yang lainnya. Seorang pengkhianat!

Seharusnya, sudah sejak awal aku tidak terlalu menaruh harapan besar kepadanya. Lagipula, ia mau berteman denganku hanya untuk terus menggejek dan memakiku, bukan?

**

Aku menghempaskan diriku diatas tempat tidur. Sesekali, aku mengerjapkan kedua kelopak mataku, akibat mengantuk.

Siapa yang tidak mengantuk jika belajar sejarah? apalagi, kau harus terus-menerus membaca sebuah halaman yang dipenuhi dengan tulisan-tulisan yang membosankan.

Itu sama saja merusak mata, dan juga otakku.

Apa semua beban yang kutanggung selama ini masih belum cukup? apakah aku harus mendapatkan bebann hidup yang lebih berat lagi?

Beban-beban itu seolah-olah hendak membunuhku perlahan.

Hey, membunuh perlahan.

Aku pun segera bangkit dari tempat tidurku dan melangkahkan kedua kakiku menuju meja belajar yang terletak tepat di depan tempat tidur.

Aku segera mencari-cari kotak peralatan tulisku, dan meraih sebuah cutter. Aku pun memejamkan kedua mataku sambil menghirup napas dalam-dalam.

Dan, satu sayatan pun membekas pada lengan kiriku.

Sebuah cairan merah mengalir mengenai pakaianku. Seketika, membuat seluruh beban-bebanku berkurang.

Kini, sudah tiga buah sayatan membekas pada lengan kiriku. Sayatan-sayatan itu seakan-akan melepaskan seluruh bebanku. Walaupun, hanya untuk sementara waktu saja.

"Hansell!" Aku pun membuka kedua kelopak mataku. Astaga, itu granny! bagaimana kalau ia melihat sayatan-sayatan ini?

Aku pun segera melempar cutter bekas sayatan itu kesembarang arah, dan menutupi luka bekas sayatanku dengan menggenakan sebuah sweater yang tergantung pada lemari pakaian.

"Kenapa lama sekali?" Tanya granny, mengerutkan keningnya pertanda meminta jawaban.

"Eh--itu, a--aku .. aku sedang beristirahat." Dustaku sedikit terbata. Tentu saja, itu karena aku tidak pandai berbohong seperti yang pernah kukatakan sebelumnya.

"Lalu, mengapa kau menggenakan sweater? sepertinya suhu udara disini tidak begitu dingin." Tanya granny yang nampaknya merasa heran dengan sweater yang kukenakan.

"Umm, aku hanya merasa sedikit menggigil. Yeah, mungkin akibat kelelahan." Maaf, granny. Aku kembali berbohong padamu tetapi, aku tidak ingin granny merasa kecewa akibat sikapku ini.

"Kalau begitu, lebih baik kau lekas beristirahat. Jika kau lapar, aku sudah membuatkanmu sup hangat." Ucap granny sebelum berlalu pergi meninggalkanku.

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan granny, dan segera menutup pintu kamarku.

Huft, hampir saja ..

Aku pun menggulung lengan sweater yang kukenakan. Menampakan luka-luka bekas sayatan tersebut, membuatku tersenyum pahit.

Dapat kurasakan cairan hangat mengalir membasahi kedua pipiku. "Maafkan aku .. granny." Lirihku sambil mengusap air mataku dengan kasar.

Disaat-saat seperti ini, lebih baik aku segera pergi ke halaman belakang rumah granny. Disana, aku dapat bertemu dengan beberapa teman-temanku yang belakangan ini sudah jarang kutemui.

Aku pun memanjat keatas jendela kamarku, dan melompat menuju halaman belakang rumah ini. Semoga saja, granny tidak melihatku saat memanjat jendela tadi. Apalagi, posisi kamarku berhadapan dengan arah ruang tengah.

"Hai, Roods." Sapaku pada Roods, sebuah pohon Ek tertinggi dihalaman belakang rumah milik granny. Ya, pohon itu ditanam oleh granny saat ia baru saja menempati rumah ini.

"Roods, apa sikapku ini salah?" Tanyaku pada Roods sambil bersandar pada batang pohon tersebut.

"Kupikir, beban-bebanku akan hilang begitu aku menyayat tanganku. Tetapi,nyatanya yang kudapatkan adalah rasa perih dan sakit pada permukaan kulitku ini." Ucapku sambil menatap luka-luka sayatan itu.

"Aku benar-benar tidak sanggup lagi untuk hidup, Roods." Lirihku, membenamkan wajahku kedalam kedua lututku.

"Apalagi, Lottie dan teman-temannya melarangku untuk tidak dekat-dekat dengan Zayn. Tetapi, aku tidak tahan, Roods. Aku ingin terus bersama Zayn walaupun, aku sendiri tidak yakin dengan hal itu." Sambungku. Mungkin, Roods akan mengangapku seorang gadis cerewet, dengan ribuan ton beban hidup yang cukup berat untuk ditanggung.

"Jika saja beban-beban ini bisa dipindahkan kepada orang lain. Mungkin, aku akan memindahkannya kepada Lottie atau Deera." Ucapku sambil terkekeh. Aku terlalu berharap untuk bisa membalas semua perlakuan kejam dari kedua gadis itu.

"Kau tahu, aku bertahan hidup hanya karena granny. Jika saja, granny sudah tiada, aku akan memohon pada Tuhan untuk mencabut nyawaku secepat mungkin." Ya, mengingat umur granny yang sudah menginjak kepala lima ditahun ini.

Apalagi, akhir-akhir ini penyakit granny sering kambuh. Aku sendiri tidak bisa membayangkan hidupku tanpa sesosok granny.

Aku pun memejamkan kedua kelopak mataku, sambil berharap saat aku terbangun nanti, aku bukan lagi berada dihalaman belakang rumah granny. Melainkan, berada disebuah taman yang begitu indah dan, kehidupanku akan sama indahnya dengan taman itu.

Sehingga, tidak ada lagi kesedihan yang perlu kurasakan.

Yeah, tidak perlu lagi ada rasa sakit yang selalu kualami selama ini.

 Vomments!

Animism//z.mWhere stories live. Discover now