Animism//1.3.

359 61 17
                                    

-Hansell-

Aku mengerjapkan kedua kelopak mataku. Semalam, aku tertidur dengan dress yang kukenakan untuk pergi menuju pesta pernikahan Zayn.

Ck, kenapa aku kembali mengingat kejadian itu?

Aku pun segera melangkahkan kakiku menuju dapur. Tentu saja, untuk membuat sarapan pagi.

Perutku benar-benar kosong akibat, kemarin aku lupa mengisi perutku. Dan, itu semua karena Zayn.

Sudahlah, lebih baik, aku melupakannya. Itupun, jika aku bisa.

Drtt .. drtt ..

Aku pun segera meraih ponsel-ku. Dan mengangkat telepon masuk, yang ternyata dari Louis.

"Hey, Hansell."

"Hey, Lou. Ada apa?"

"Aku merindukanmu, Kiddo." 

"Aku juga merindukanmu, Lou."

"Ngomong-ngomong, bagaimana acara pernikahan Zayn? Apa kau menangis?'

Seketika, aku terdiam mendengar pertanyaan dari Louis.  Aku mengigit bibir bawahku, bingung harus mengatakan apa pada Louis.

"Hans, kau masih disana?"

"Eh, i—iya."

"Apa aku salah bicara?"

"T—tidak. Uh, kurasa aku harus segera mematikan kompor didapur. Kalau begitu, sampai jumpa Louis."

"Whoa, rupanya kau sudah bisa memasak, hahaha. Baiklah, sampai jumpa. Dan, titipkan salamku pada lelaki setengah keriting itu. Oh, dan jangan lupa, lain waktu, perkenalkan aku pada Zayn."

"O—okay."

Aku pun mematikan sambungan telepon antara kami. Otakku terus saja memutar memori kejadian, dimana Zayn menatapku dengan tatapan dinginnya, disaat ia berusaha mengejarku, dan disaat aku datang tanpa diundang sekalipun olehnya.

Sungguh miris.

Aku pun menyeret kedua kakiku dengan malas menuju meja makan. Rasanya, aku ingin cepat-cepat kembali ke Los Angeles. Namun, bagaimana dengan Harry?

Tidak mungkin jika aku meninggalkannya sendirian di Bradford, bukan?

Huft, apa memang sebaiknya aku tidak pernah kembali lagi ke Bradford? yeah, aku merasa setiap kali aku menginjakan kakiku ditempat ini, aku selalu saja mendapat masalah baru.

Padahal, Bradford adalah tempat yang sangat indah.

Dan itu, sama sekali berbeda dengan nasibku yang bertolak belakang dengan keindahan yang dimiliki oleh Bradford.

Aku hanya bisa tersenyum miris, meratapi nasibku yang begitu menyedihkan ini.

Ck, mau sampai kapan aku terus meratapi nasib malangku ini? lebih baik, aku segera membuat sarapan pagi.

**

Aku melangkahkan kedua kakiku menuju salah satu cafe yang terletak tak jauh dari rumah Granny.

Sepertinya, cafe ini baru saja dibangun. Karena, sebelumnya, aku belum pernah melihat bangunan cafe ini.

Aku pun memasuki pintu cafe tersebut. Sepertinya, aku datang diwaktu yang sangat tidak tepat.

Ya, cafe ini sudah dipenuhi oleh cukup banyak pelanggan. Dan, antrian untuk memesan menu sangatlah panjang.

Walaupun, hanya ada beberapa saja orang saja yang mengantri.

Akan tetapi, aku paling benci jika disuruh untuk menunggu. Apalagi, menunggu sesuatu yang tidak pasti.

Itu akan sangat menyebalkan, bukan?

Uhm, apa aku baru saja menyindir seorang lelaki bernama, Zayn(?).

"Hey, seberapa lama lagi antrian ini akan berlangsung?" Tanyaku pada seorang wanita brunette dengan kacamata bundarnya, dihadapanku.

"Entahlah, aku sendiri sudah menunggu selama satu jam disini." Apa? satu jam? padahal, antrian didepan sana masih sangat panjang.

Aku pun mencoba berjinjit, untuk melihat seberapa panjang antrian didepan sana.

Astaga, seorang pria gemuk, ralat obesitas, tengah kerepotan membawa dua nampan yang terisi penuh dengan makanan.

Apa ia tidak takut tubuhnya itu bertambah gemuk? jika aku menjadi pria itu, aku akan berhenti makan dan berolahraga secara teratur.

Aku tidak mau perutku memiliki lipatan-lipatan, dan tubuhku terasa sangat berat hanya untuk bangkit dari tempat duduk.

Ayolah, Hansell, mau sampai kapan kau terus mengomentari orang lain? lihatlah dirimu sendiri, apa kau sudah cukup baik dimata orang lain?

"Ups, maaf." Tiba-tiba saja, seorang lelaki mendorong tubuhku kedepan. Mungkin, karena ia sudah merasa tidak sabar menunggu.

"Apa kau tak melihat antrian panjang didepan sa—" ucapanku terputus begitu saja saat melihat sosok lelaki itu.

"Hansell?"

"Hey?" Sapa lelaki itu sambil tersenyum kikuk.

"H—hey." Aku pun ikut tersenyum kikuk pada lelaki itu.

Apa kau tahu, siapa lelaki itu? ia adalah Zayn. Dan, sialnya aku bertemu dengannya ditengah-tengah antrian menjengkelkan seperti ini.

Kenapa tidak disebuah restaurant mewah atau disebuah taman? hey, apa yang baru saja kupikirkan?

"Kau sudah datang daritadi?" Tanyaku, berusaha mencairkan suasana canggung diantara kami.

Zayn hanya menganggukan kepalanya. Dapat kulihat dengan jelas kedua bola mata hazel, yang selama 3 tahun belakangan ini tak pernah kutemui.

"Um, Hansell .." Aku pun mendongak kearah Zayn. Ia seperti hendak mengatakan sesuatu padaku.

Astaga, kenapa jantungku jadi berdetak tak karuan seperti ini? ingatlah Hansell, ia sudah memiliki keluarga. Ingat itu.

"Antrian didepanmu sudah kosong."

Sial.

Aku pikir ia akan mengatakan sesuatu yang penting. Ternyata, hanya masalah antrian menjengkelkan itu. C'mon Hansell, memangnya apa yang kau harapkan darinya?

"Astaga, maafkan aku." Aku pun cepat-cepat melangkahkan kakiku menuju tempat pemesanan.

Sungguh, aku merasa seperti seorang idiot dihadapan Zayn. Apalagi, orang-orang yang mengantri dibelakangku nampak kesal dan protes akan sikap bodohku, tadi.

Sepertinya, aku lebih bodoh daripada seorang pria gendut dengan dua nampan makanan dikedua tangannya itu.

Dan, itu semua karena Zayn.

Tetapi, disisi lain, aku merasa bersyukur dapat kembali bertemu dengannya. Walaupun, aku masih merasa sedikit kesal dan kecewa padanya.


 

A/n : Haiii, maaf ini pendek, hehehe..

  Jangan lupa vomments yaaa! 


Animism//z.mDonde viven las historias. Descúbrelo ahora