00: Prologue

1.3K 82 24
                                    






















Trigger Warning:

This story contains sensitive content such as cursing, domestic violence, bullying, street accident, mentions of blood/wounds, bloody imagery, depression, traumatic disorder, self-harm, suicide, death and murder.

Jadilah pembaca yang bijak.













































≈≈≈

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

≈≈≈

Suasana sekolah hari itu terasa berbeda dari hari biasanya. Sangat berbeda.

Bagaimana tidak? Pasalnya pagi itu mendung, langit tampak kelabu dipenuhi awan gelap, seolah ikut berkabung atas perginya seorang pemuda lugu yang disayangi banyak orang itu. Termasuk dia yang sekarang sedang duduk merenung di dalam kelas sendirian.

"Loh?" gadis itu tampak terkejut melihatnya. "Kamu nggak ke aula?"

Pemuda itu terdiam, sementara gadis itu melakukan tujuan awalnya kembali ke kelas, untuk mengambil jaket miliknya dan temannya.

"Ke aula bareng yuk?" ajak gadis itu.

Pemuda itu tetap tak menjawab apa-apa.

"Ya udah, aku duluan," kata gadis itu.

Gadis itu berjalan ke arah pintu kelas, berniat untuk segera ke aula, tempat pemberkatan jenazah akan dilakukan pagi itu. Ia tak mau kehilangan waktu terakhir melihat orang yang ia sayangi untuk kedua kalinya. Namun langkahnya terhenti ketika ia tiba-tiba mendengar suara isakan tangis yang tertahan.

Gadis itu menoleh, mendapatinya menahan air mata. Pemuda yang selama ini menjadi kekuatan, penyemangat, dan penyelamatnya, kini terlihat rapuh.

Ia tahu, rasa kehilangan yang mendadak seperti ini memang berat. Tetapi belum pernah ia merasa sehancur ini ketika melihat orang lain menangis.

Ia putuskan untuk melangkahkan kakinya, mendekatkan diri ke pemuda itu. Gadis itu menarik kursi, lalu duduk tepat di sebelahnya.

Dia rangkul bahu lebar pemuda itu, lalu ia sandarkan kepala di pundaknya.

"Aku tau ini berat. Tapi aku harap kamu ikhlas," kata gadis itu, bertukar peran menjadi penguatan pemuda itu.

Pemuda itu akhirnya runtuh, membiarkan seluruh air mata dan isaknya keluar. Ia tak sanggup menahannya lagi.

"Kamu gak paham sebesar apa penyesalanku. Aku gagal jadi kakak yang baik buat dia, aku gagal bikin hidup dia lebih bahagia," jawab pemuda itu menahan tangisnya sebisa mungkin.

Laut di Utara: The Northern SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang