13: Peluk dan Pelik

141 22 30
                                    
































Trigger Warning:

This chapter contains sensitive content such as cursing, suicide, domestic violence, mentions of bloods, bloody imagery, depression, and death.

Jadilah pembaca yang bijak.



























Jadilah pembaca yang bijak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

≈≈≈

"Halo, Artha?" panggil Arsel melalui telepon malam itu.

"Iya, ada apa?"

"Tha, kamu bisa telepon Joice nggak?" tanya Arsel. "Aku hubungin dia nggak diangkat soalnya."

"Emang ada apa? Penting kah?" Artha bertanya balik.

"Kamu gak liat post anak-anak sekolah di Instagram?!" tanya Arsel dengan nada agak tinggi. "Joice nggak bisa dihubungi sama sekali dari tadi. Aku takutnya ada apa-apa sama Joice."

Artha tak tahu betul unggahan apa yang dimaksud Arsel, sebab ia tak sempat membuka ponsel sejak pulang sekolah tadi. Namun mengingat kejadian sebelumnya dengan Karina dan antek-anteknya, pemuda itu yakin betul bahwa ini adalah masalah besar.

"Aku bakal ke rumah Joice sekarang, with my parents. Sekalian mau silaturahmi juga, soalnya belum pernah mampir setelah Joice pindah ke Malang." Arsel menuruni tangga sambil menelepon pemuda itu. "Kamu gak mau nyusul juga kah? I don't know, but in case ada apa-apa gitu?"

"I... iya, aku bakal nyusul kok," kata pemuda itu dari seberang sambungan.

Entahlah, ia merasa khawatir. Arsel dan Joice sudah berteman sejak kecil, pasti mereka juga sudah terhubung seperti saudara. Jika Arsel merasa khawatir begini, Artha tak mungkin santai-santai saja, kan?

"Okay, bye! Sampai ketemu di sana." Arsel kemudian menutupn teleponnya.

Segera ia masukkan benda pipih itu ke saku celananya. Arsel berjalan cepat keluar dari rumah itu, tak mau membuat orang tuanya menunggu lama.

"Arsel, my dear? Ayo cepet!" kata ibunya. "Ini Mama sama Papa keburu jadi batu nungguin kamu daritadi."

"Maaf, Arsel agak panik aja, Ma," ucap gadis itu.

"Kenapa?" tanya wanita itu.

"Bisa ngomongin di jalan aja?" sela sang ayah.

"Ya udah. Arsel, cepet masuk," kata wanita itu yang langsung dituruti olehnya.

Gadis itu duduk di kursi belakang dengan segala kekhawatirannya, sementara kedua orang tuanya di depan tampak santai sembari mendengarkan lagu-lagu lama di radio.

Laut di Utara: The Northern SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang